Senin, 16 Mei 2011

Tepat Bidikkah ‘Bidik Misi’?


Sejak dikeluarkan PP 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, setiap perguruan tinggi negeri (PTN) wajib menyediakan alokasi kursi sebanyak 20 persen untuk mahasiswa kurang mampu. Program yang dinamai Bidik Misi tersebut mulai berlaku pada tahun ajaran 2010/2011. Mahasiswa penerima Bidik Misi memperoleh beasiswa berupa biaya pendidikan dan biaya hidup tiap bulannya. Bagaimanakah jalannya program tersebut di kampus ITS?
Susilo adalah salah satu mahasiswa Bidik Misi. Ia mengikuti proses seleksi jalur ini karena merasa berasal dari kalangan tidak mampu. Orang tuanya hanyalah petani biasa. Selain tidak mampu, persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon mahasiswa Bidik Misi adalah berprestasi. “Saya menyertakan sertifikat dan piagam pernghargaan dan nilai rapor di atas 75,” tambahnya.
Salah satu persoalan dalam Program Bidik Misi ialah terkait kriteria “tak mampu”. Ketika ditanya apakah dia memang layak untuk mendapatkannya, mahasiswa Teknik Fisika ini mengiyakan. “Saya tidak punya rumah, hanya tinggal di gudang yang tidak punya ruang tamu,” katanya. Surveyor datang ke rumahnya seminggu menjelang SNMPTN dan menanyakan penghasilan orang tuanya.
Namun, ada beberapa isu tak sedap yang menjadi bahan pembicaraan di antara penerima beasiswa Bidik Misi. Susilo mendengar dari penuturan temannya bahwa ada beberapa mahasiswa yang dianggap ‘mampu’, tapi mendapatkan dana beasiswa tersebut. Tim Langkah Awal pun mencari narasumber yang demikian untuk dikroscek kebenarannya.
Ketika Langkah Awal menemui orang yang dimaksud, mahasiswi yang meminta identitasnya dirahasiakan ini membantah isu tersebut. “Ayah saya menderita penyakit lever dan Ibu saya terpaksa bekerja ke luar negeri menjadi TKI,” ujarnya. Meski begitu, ia mempunyai cukup tabungan karena sejak SMA sering mengikuti lomba. Ia juga mengaku laptop serta HP—yang cukup bagus—miliknya didapat dari hadiah lomba yang dimenanginya.
Ia kecewa dengan isu yang kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ia merasa tuduhan itu sama saja dengan menghina Ibunya yang bekerja keras demi dirinya dan adiknya yang masih kecil. “She is my inspiration. I’m here because of her,” tuturnya sambil menangis. “Saya tidak harus berpakaian gembel dan tampil cupu (culun punya.red) supaya dilihat miskin.”
Pencairan Dana
Setiap bulan mahasiswa Bidik Misi mendapat biaya hidup sebesar 500 ribu. Menurut pengakuan Ika Astutik, salah satu penerima beasiswa Bidik Misi, ia pertama kali menerima biaya hidup pada bulan Agustus 2010 yang ditransfer langsung ke rekeningnya. Tapi ketika batas tiga bulan sudah lewat (November), terjadi keterlambatan hampir dua bulan.
Hal serupa juga dilontarkan oleh mahasiswa Bidik Misi lainnya. “Telat dua bulan. Itu dikarenakan data-data mahasiswa Bidik Misi tiap jurusan belum disetor ke BAAK,” terang mahasiswa Teknik Sipil yang tidak ingin disebutkan namanya. Kondisi ekonomi keluarganya membuatnya tidak punya harapan lain kecuali dari uang bulanan tersebut. “Saya hanya makan satu kali sehari atau meminjam dari teman satu kontrakan,” jelasnya. Karena itu ia pun mengadukan hal ini kepada birokrasi kampus. Dan akhirnya keluar kebijakan untuk meminjami uang sebesar 600 ribu kepada mahasiswa penerima Bidik Misi yang benar-benar tidak mampu. Dengan syarat, jika dana beasiswa Bidik Misi telah cair, mahasiswa tersebut segera mengembalikannya.
Banyak kecurigaan memang yang muncul terkait keterlambatan pencairan dana ini. Misalnya uang itu didepositokan untuk mendapatkan bunga bank. Kepala BAPSI Joko Hartanto yang ditemui pada Kamis (12/5) lalu membantah hal tersebut. Menurutnya, dana Bidik Misi ditransfer langsung dari pemerintah pusat ke penerima Bidik Misi. “ITS hanya mengusulkan kepada Dikti yang diteruskan kepada Diknas dan DPR,” terangnya. Ia pun sudah mengajukan protes kepada Menteri Keuangan terkait hal ini. “Uang Bidik Misi hanya 200-an juta hampir sama dengan dana satu riset,” akunya. “Kalau mau, lebih baik uang riset yang saya simpan biar dapat bunga.”
Keterlambatan pencairan dana ini membuat pihak ITS untuk sementara menalangi dana yang diambil dari pos anggaran lain untuk memberikan pinjaman. Menurut Pak Joko keputusan ini beresiko karena BPK akan memeriksa anggaran yang tidak tepat peruntukannya. “Persoalannya, kalau ITS menalangi untuk sementara, bagaimana cara menggantinya padahal uang Bidik Misi langsung ditransfer pemerintah ke rekening mahasiswa tanpa melalui ITS,” keluhnya.
Dan ternyata, pada praktiknya pengembalian uang pinjaman dari birokrasi langsung terpotong di rekening mahasiswa Bidik Misi. Hal ini jelas membuat kaget peminjam dana karena tidak mengetahui prosedur yang demikian. Seperti yang diungkapkan Ika, “saya nggak tahu, kalau uang langsung terpotong di rekening, mungkin itu langsung dilakukan oleh administrasi ITS”.
Menurut Dosen Kimia ini ada salah satu solusi untuk mengatasi persoalan pencairan dana. Pemerintah pusat dapat bekerja sama dengan pihak Bank untuk mencairkan uang secara rutin kepada mahasiswa Bidik Misi. Sehingga, tanpa uang ada di Bank pun langsung dapat disetor seperti halnya gaji PNS. Selain itu ITS punya rencana untuk membuat kegiatan bagi mahasiswa Bidik Misi, semacam  CSR (Corporate Sosial Responsibility), sehingga apabila terjadi keterlambatan, dana dapat diambil dari pos ini. Pak Joko sendiri menolak menyalahkan pemerintah meskipun dari keterangan yang diberikannya mengarah ke sana. “Tidak bisa menyalahkan satu persatu. Yang salah kita semua termasuk kalian (menunjuk pada redaksi Langkah Awal),” tegasnya mengakhiri wawancara. (imot/samdy/arif)
Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 6 (16 29 Mei 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!