Oleh: Bung Samdy*
Selama perbedaan masih ada, terorisme takkan pernah habis.
Terorisme bukanlah hal yang asing dalam sejarah umat manusia. Agama berkisah bahwa manusia pertama sudah diteror oleh makhluk bernama setan alias iblis sehingga mereka jatuh dalam dosa. Bahkan hingga kini, setanlah yang pertama kali disalahkan apabila manusia berbuat dosa. Manusia pertama itu kemudian beranak-pinak hingga lahirlah beragam bangsa. Tidak hanya itu, setiap bangsa bahkan memiliki agamanya sendiri. Mereka percaya adanya kekuatan supranatural dan menafsirkan-Nya sesuai tempat mereka berada. Tak heran, setiap bangsa punya Tuhan dan ibadahnya sendiri.
Dalam buku tipis Apakah Bangsa Itu karya filsuf Prancis abad 19 Ernest Renan ada cerita menarik. Disebutkan bahwa di zaman dahulu ketika satu bangsa berhasil menaklukkan bangsa lain, maka bangsa yang takluk akan mengikuti agama sang penakluk. Itu artinya agama telah menjadi identitas kebangsaan, begitupun sebaliknya.
Baru kemudian agama-agama universal lahir. Budha, Hindu, Kristen, Islam percaya bahwa Tuhan tidaklah terkait dengan suatu bangsa. Tanpa harus menaklukkan bangsa-bangsa lain pun agama bisa disebarkan secara damai. Para pengkhotbah berangkat ke negeri-negeri jauh menyiarkan jalan keselamatan.
Perang agama dan kolonialisme
Tapi, tabiat seperti yang diceritakan Ernest Renan di atas masih terjadi. Dalam Perang Salib, perang antara Islam dan Kristen adalah paralel dengan Eropa melawan Arab. Tentu saja tidak sepenuhnya benar. Pihak Kristen Eropa merasa perlu membela saudara Arab dan Turki (Romawi Timur) mereka demi melawan pihak Islam Arab dan Turki Seljuk. Padahal di Yerusalem sendiri tidak ada masalah antara si Arab Kristen dengan si Arab Islam termasuk si Yahudi. Yang melarang peziarah Kristen dari Eropa masuk ke Yerusalem—yang dijadikan alasan oleh Paus Urbanus untuk berperang—adalah si Turki Seljuk. Bukankah tabiat orang-orang Turki Seljuk dilandasi semata oleh bangsa? Mereka merasa perlu membatasi si “bermata biru dan berambut pirang” masuk ke kota suci mereka sendiri.
Perang Salib yang tujuh periode (1096-1270) kemudian dimenangi oleh “bangsa” Islam. Dan dalam masa-masa itu kekhalifahan Islam gilang-gemilang—paradoks dengan Eropa yang berada dalam kegelapan. Baghdad, Kairo, Cordoba, Samarkand adalah kota-kota yang menunjukkan tingginya peradaban. Ilmuwan berkutat dengan ilmu, sementara filsuf-filsuf sibuk menafsirkan kehidupan.
Bangsa Eropa sadar akan kelemahannya. Mereka pelajari literatur dari peradaban maju itu dan mengembangkannya. Dalam waktu yang tak lama Eropa menjadi sama kuat dengan “musuh”-nya. Pertama-tama pelaut dikirim ke negeri jauh; kemudian berdagang; memonopoli kekuasaan; menaklukkan wilayah sambil menyebarkan agama tentu saja. Termasuk dalam koloninya adalah negeri-negeri Islam.
Secara bersamaan di negeri Eropa lahir para pemikir besar. Tapi mereka ini agak berbeda dalam memandang fungsi agama seperti sebelumnya. Zaman Aufklarung (pencerahan) menghinggapi Eropa dan melahirkan cara pandang hidup baru. Muncullah kemudian apa yang disebut sekularisme (pemisahan otoritas agama dengan negara), demokrasi, liberalisme, sosialisme, komunisme. Dengan begitu, Eropa bagi musuh-musuhnya dapat dipandang memiliki dua sumber nilai: Kristen dan ideologi sekuler. Ideologi-ideologi itu masuk pula ke negeri-negeri jajahan. Tapi kedua sumber nilai itu dianggap antitesis nilai hidup bangsa terjajah dan penyebab kehancuran—khususnya—kekhalifahan Islam dengan peradabannya yang tinggi.
Tapi tentu saja tidak semua bangsa. Bapak bangsa Indonesia justru memanfaatkan ideologi barat untuk mengusir penjajah. Bagaimanapun, ideologi-ideologi itu universal dan tidak terkait agama dan bangsa tertentu. Setelah bangsa-bangsa terjajah merdeka, ideologi-ideologi itu masih tinggal—meski si kulit putih sudah enyah. Sayangnya, ideologi yang diadopsi gagal memperbaiki nasib rakyat. Melihat keadaan tersebut, lahirlah sekelompok orang yang tak puas dan juga radikal. Dengan berbekal romantisme masa lalu, membawa agama sebagai simbol melawan negara-negara Barat dan ideologinya.
Osama dan gerakannya
Salah satu kelompok itu beraksi pada 11 September 2011. Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden mengaku bertanggung jawab atas pengeboman menara WTC di New York yang menewaskan 3000 orang lebih. Dalih mereka tentu saja jihad melawan kezaliman Barat yang menindas umat Islam sejak kolonialisme hingga zaman modern ini. Mereka menganggap keterpurukan negeri-negeri Islam disebabkan Barat beserta ideologinya. Karena alasan ini, halal darah siapa saja yang berada di pihak musuh—termasuk anak-anak dan wanita.
Apa yang dilakukan Osama dan kelompoknya tidak bisa dicegah kerena beberapa alasan mereka ada benarnya. Amerika dan negara-negara Barat pintar bermuka dua. Masalah Palestina misalnya tidak pernah usai karena Amerika takut mengingatkan Israel. Padahal Amerika sering tampil layaknya polisi dunia apabila negara lain melanggar HAM. Tapi tidak untuk anak emas Amerika itu. Pemukiman Israel terus merambah ke tanah Palestina. Pembantaian rakyat sipil juga marak dilakukan militer Israel. Berkali-kali PBB coba mengintervensi namun kandas oleh veto Paman Sam.
Amerika pun mengambil jalan militer untuk menumpas gerakan Osama. “Rambo-rambo” diterjunkan ke Afganistan sebulan pasca-pengeboman WTC untuk mencari teroris nomor wahid tersebut. Dengan penyerbuan ini, tambah lagi amunisi Al Qaeda untuk mencari simpati: Amerika menduduki negera muslim. Ribuan orang berjihad membantu saudara seiman di Afganistan. Bagi mereka yang tidak bisa ke sana, dibenarkan membunuh orang-orang kulit putih di manapun berada.
Tidak hanya Afganistan, Amerika membuka pula front perang baru di Irak tahun 2003. Kali ini targetnya senjata pemusnah massal. Saddam Husein berhasil ditaklukkan, ditangkap, dan kemudian digantung. Bagaimana dengan senjata pemusnah massal? Nol besar. Ternyata memang tidak ada senjata pemusnah massal di sana. Perang Irak hanyalah kebohongan orang seperti Bush untuk mengamankan ladang minyak di negeri 1001 malam.
Tapi akibatnya luar biasa. Kaum ekstrimis itu tambah punya legitimasi. Selain Palestina, Afganistan dan Irak adalah negeri Islam. Kemarahan pada Amerika kian menjadi-jadi dan otomatis bibit-bibit teroris tambah menjamur. Amerika berdalih melakukan pendudukan demi memburu Osama yang akibatnya ribuan nyawa tak berdosa tewas di Afganistan. Klimaksnya bisa kita saksikan pada 2 Mei lalu: Osama bin Laden tewas di tangan Navy Seals.
Pertanyaannya, apakah dengan terbunuhnya Osama teror bakal berakhir pula? Tidak! Terorisme akan terus menjadi “duri dalam daging” umat manusia. Kita mustahil merasakan dunia penuh damai seperti yang dicita-citakan oleh semua ideologi, paham, bahkan agama. Karl Marx bermimpi adanya masyarakat yang “setiap orang memberi berdasar kemampuan; menerima sesuai kebutuhan”. Agama juga mengajarkan surga-akhirat sebagai tempat untuk orang baik dengan kenikmatan tak terhingga.
Keduanya mengandaikan homogenitas; tidak ada perbedaan. Dalam kondisi seperti itu terorisme memang tidak bakal ada. Tapi, kita hidup dalam dunia yang memiliki kesenjangan: kaya-miskin, baik-jahat, pintar-bodoh, benar-salah, beriman-kafir, idealis-realis, dan sebagainya. Andaipun hilang salah satunya—meski tidak mungkin—maka yang lain akan menjadi alasan baru bagi para teroris. Dan akibatnya, manusia seperti Osama pun tidak pernah mati!
*Samdysara Saragih-Teknik Fisika ITS
Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 6 (16 – 29 Mei 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!