Masih segar dalam ingatan goyangan Briptu Norman Kamaru dengan lagu Chaiya Chaiya yang diambil dari salah satu film Bollywood-Dil Se. Bak durian jatuh, senusantara mengenalnya. Tiga minggu berselang, sebuah fenomena menarik mampu menyedot banyak perhatian. Negara Islam Indonesia (NII) kembali unjuk gigi, begitulah media-media mem-blow up isu. Namun, tidak semua orang mampu membuka ingatan mengenai organisasi yang telah ada sejak 1929 tersebut.
Sedikit Mengupas Kisah NII
Lahir pada saat terjadi vacuum of power di Republik Indonesia. Sejak tahun 1926, kemunculan yang spontanitas, dituding akibat merasa sakit hatinya sebagian kalangan Islam. Diawali dengan kalangan ulama dari berbagai belahan dunia termasuk Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto membahas rekonstruksi khilafah Islam yang runtuh pada tahun 1924 di Turki. Sayangnya, syuro para ulama tersebut tidak membuahkan hasil dan tanpa tindak lanjut.
Pada 24 April 1940, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang merupakan orang kepercayaan Tjokroaminoto menindaklanjuti usaha rekonstruksi tersebut dengan membentuk Laskar Hizbullah-Sabilillah sebagai cikal bakal Tentara Islam Indonesia (TII). Lalu 10 Februari 1948, sebuah konferensi di Cisayong menghasilkan keputusan membentuk Majelis Islam dan mengangkat Kartosoewirjo—yang besar di bawah sistem rasional Barat—sebagai Panglima Tinggi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan berbagai kesepakatan mengenai langkah-langkah perjuangan Islam. Begitu lahir, TII terus melawan Belanda selama 9 bulan dengan jihad sucinya.
Keputusan lainnya bahwa NII bersama negara-negara Islam membentuk Dewan Imamah Dunia untuk mengangkat khalifah dunia. Pada 7 Agustus 1949, NII secara sah berdiri dalam bentuk negara federal dengan tujuan menegakan khilafah fil ardhi (pemimpin di bumi). Acuan tertinggi adalah Al-Qur’an dan Hadits sahih.
Sejak kemerdekaan diproklamasikan, kaum nasionalis memegang tampuk kekuasaan dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan modern yang dianggap sekuler oleh kalangan nasionalis Islam. Nasionalis Islam tersingkir secara sistematis, hingga akhir 1970-an kalangan nasionalis Islam berada di luar negeri. Di mulailah pertentangan serius antara kalangan nasionalis Islam dan kaum nasionalis “sekuler”. Kaum nasionalis sekuler mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka pertentangan selanjutnya dianggap sebagai pertentangan antara Islam dan negara.
Perjuangan panjang Kartosoewirjo selama 13 tahun pupus setelah Kartosoewirjo tertangkap. Pada tanggal 16 Agustus 1962, pengadilan memutuskan bahwa perjuangan Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara Islam Indonesia adalah sebuah "pemberontakan". Hukuman mati diberikan kepada Kartosoewirjo. Namun tidak ada informasi yang jelas tentang wafatnya. Mulai dari eksekusi mati hingga letak jasadnya di makamkan terkesan serba misterius.
NII: Antara Kedok dan Cari Muka
Setelah sekian lama tidak ada desas-desus, belakangan NII kembali menjadi bahan perbincangan. Namun, yang menjadi pokok pembahasan bukanlah NII yang sesungguhnya, melainkan sebuah gerakan yang sangat menyimpang dari nilai-nilai Islam. NII dijadikan kedok. NII ditengarai memiliki kaitan erat dengan Pondok Pesantren Al-Zaytun di Jawa Barat-KW 9. Din Syamsuddin menegaskan bahwa pemimpin NII merupakan pimpinan dari Pondok Pesantren Al Zaytun, dan menyebutkan wali ideologis di NII sangat dipatuhi daripada wali biologis.
Pondok pesantren modern ini berdiri pada era 90-an. Diresmikan oleh B.J. Habibie—Presiden RI saat itu. Al Zaytun dipimpin oleh Syekh Panji Gumilang A.S—diisukan gila harta—mendapat suntikan dana dari Inggris. Media massa bernuansa Islam menampilkan hasil-hasil penelitian, analisis para pakar, hingga kesaksian para mantan santri pesantren tersebut sebagai bukti kesesatan Al Zaytun dengan NII “jadi-jadiannya”. Namun Panji terang-terangan membantah isu tersebut pada 29 April 2011 saat konferensi pers. Masyarakat semakin dibodohi.
Media swasta kembali memainkan “isu sampahnya” dengan baik pada hari yang sama. Dipastikan hampir 16.000 orang telah menjadi pengikut fanatik NII. Dengan gerakan underground dari kampus ke kampus, menjadikan mahasiswa/i sebagai target utama. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Insitut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Teknologi Telkom (IT Telkom) telah merasakan “hipnotisnya”. Masyarakat takut bukan kepayang.
Kali ini MUI yang memberikan pernyataan dengan tergesa-gesa bahwa NII—menggunakan nama NII pastinya, dengan fakta yang belum jelas—adalah agama murtad, pada tanggal 30 April. Jelas bahwa MUI termakan isu, berdampaklah kepada masyarakat yang semakin larut dalam ketakutan hingga beberapa desa di Cirebon melarang anak-anaknya untuk bersekolah. Tidak rasional namun begitulah masyarakat negeri ini. Protektif terhadap sesuatu yang belum pasti. Presiden-lah yang seharusnya disalahkan.
Masih 30 April 2011, masyarakat kembali sport jantung—khas masyarakat majemuk—dengan hadirnya pernyataan Front Pembela Islam (FPI). Bahwa kasus cuci otak dan hilangnya beberapa mahasiswa diduga bagian dari isu yang dirancang sistematis. NII yang ada saat ini adalah bentukan intelijen. Munarman, Jubir FPI, menegaskan bahwa intelijen melakukan black propaganda untuk membusukkan Islam. Bahkan FPI punya bukti kuat dalam bentuk video yang telah tersebar. Lagi-lagi dibantah oleh kepala BIN, Sutanto, pada hari yang sama, yang mengatakan bahwa FPI bohong belaka. Sutanto juga menegaskan bahwa masyarakat pasti bisa melihat kebenarannya. Entahlah….
Bukan hanya pengamat, pemuka agama dan aparat negara yang bisa berbicara. Mahasiswa pun memberikan pernyataan yang “menarik” saat demo pada tanggal 30 April di Solo. Bahwa Isu NII dihembuskan untuk memuluskan RUU intelijen yang sedang bermasalah, ada 25 pasal. Mahasiswa menuntut pemerintah yang hingga saat ini belum dapat mendefinisikan arti ancaman bagi negara seperti yang ada dalam rancangan. Termasuk ancaman NII “buatan”.
Al Chaidar, mantan anggota NII, pada tanggal 1 Mei membenarkan pernyataan mahasiswa dan menambahkan bahwa intelijen memelihara Al Zaytun di bawah naungan Prabowo di saat dia memimpin TNI era Orba. Bisa ditafsirkan secara sepihak dan sesuai dengan kepentingan. Kali ini belum ada yang meng-counter isu tersebut. Lagi-lagi entahlah.
Begitu perjalan politik, isu yang berkembang, pembenaran atas kebobrokan dan segala kepentingan penguasa di negeri ini. Bahkan sejarah tidak lagi menjadi acuan. Semua berpendapat dengan “mantap”. Sejarah pun berlalu dengan segala ketidaklakuannya, MUI tanpa pikir panjangnya, Din mencoba eksisnya, media dengan target beritanya, Panji dengan kedok-kedoknya, FPI kembali dengan kontroversinya, Intelijen dengan pembenarannya, Al Chaidar mencoba dengan lagaknya, Prabowo dengan dosa lamanya, NII hanya “berjoget” seperti Norman Kamaru, dan dianggap sebagai penghipnotis. Lalu mahasiswa dengan peran anti politisnya. Siapa yang tahu kebenarannya?
Bagaimana dengan masyarakat? Lalu, bagaimana dengan Presiden? Pastinya masyarakat semakin bingung dan akhirnya memutuskan untuk acuh tak acuh. Sing penting nggolek mangan dan pastinya masyarakat sedang menunggu curhatan Presiden untuk kesekian ribu kali. Mungkin hanya itu solusinya.Toh, isu sampah tersebut juga bakal hilang bak asap yang meninggalkan api begitu saja.
Sedikit kegelisahan, katanya jam malam dan krangkeng kantin pusat diberlakukan karena ketakutan terhadap kehadiran NII” jadi-jadian”. 3G jaree….
*Yaumil F Gayo-KAM ITS
Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 6 (16 – 29 Mei 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!