Selasa, 03 Mei 2011

Marsinah : Tokoh buruh Indonesia


Memperingati Hari Buruh, 01 Mei 2011
Wanita yang lahir pada 10 April 1969 adalah salah satu  tokoh dalam sejerah perjuangan kaum buruh. Anak nomor dua dari tiga bersaudara ini merupakan buah kasih antara Sumini dan Mastin. Sejak usia tiga tahun, Marsinah telah ditinggal mati oleh ibunya. Bayi Marsinah kemudian diasuh oleh neneknya—Pu’irah—yang tinggal bersama bibinya—Sini—di desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur.
SMPN 5 Nganjuk adalah saksi tumbuhnya seorang wanita pekerja keras tersebut. Hidupnya serba kekurangan dan biaya sekolah adalah tanggung jawabnya sendiri. Marsinah telah menjadi wanita yang mandiri sejak kecil. Bahkan wanita pemilik hobi membaca ini menghabiskan waktunya hanya untuk mencari sesuap nasi.
Dalam dunia kerja Ia dikenal sebagai seorang pendiam, lugu, ramah, supel, ringan tangan dan setia kawan. Ia sering dimintai nasihat mengenai berbagai persoalan yang dihadapi kawan-kawannya. Kalau ada kawan yang sakit, ia selalu menyempatkan diri untuk menjenguk. Selain itu Ia seringkali membantu kawan-kawannya yang diperlakukan tidak adil oleh atasan. Ia juga dikenal sebagai seorang pemberani.
Perjuangannya pun diuji pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya)—pabrik tempat kerja Marsinah—menyambut dengan senang hati kabar kenaikan upah menurut Surat Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok, namun himbauan ini tidak digubris oleh PT. CPS karena jelas akan membuat rugi perusahaan dan ini menimbulkan keresahan di antara para buruh.
Pada tanggal 3 Mei 1993 buruh PT. CPS. Sebagian buruh bergerombol dan mengajak teman-teman untuk mogok kerja. Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untuk mencari data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak mogok.
Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan kepada pihak management dan berakhir dengan kerusuhan dan Marsinah dituduh sebagai salah satu biang kerusuhan. Anggapan Marsinah sebagai PKI menjadi isu hangat.
Tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo dan mendesak agar ke-13 buruh itu menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di tempat yang sama.
Marsinah merasa ada yang salah dari kasus tersebut dan mendatangi Kodim Sidoarjo sendirian pada hari itu juga untuk menanyakan nasib 13 rekannya yang dibawa ke sana. Sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Kawan-kawan Marsinah tidak mengetahui keberadaannya sampai tanggal 9 Mei, ketika mayat Marsinah ditemukan di sebuah gubuk petani dekat hutan Wilangan.
Di pengadilan pada tanggal 27 Mei, 8 orang pekerja CPS dan 3 orang tentara divonis hukuman penjara. Namun terdakwa naik banding ke Pengadilan Tinggi dan dibebaskan. Hampir 18 tahun kasus tersebut terombang ambing tanpa ada langkah yang jelas dari pihak pemerintah. Bahkan lebih dari 16 kali kasus tersebut diangkat ke pengadilan tetap dengan hasil nihil.
Marsinah menjadi salah satu tokoh wanita dalam mencari keadilan kaum buruh. Tokoh yang akan selalu diingat oleh setiap orang yang mengenal arti perjuangan. Semoga kasus Marsinah bisa menjadi pembelajaran bagi generasi penerus bangsa. (yf)
Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 5 (02 – 15 Mei 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!