Oleh: Jeng Yanti*
Zaman berkembang semakin tak menentu. Pembangunan menjadi alasan untuk melakukan perubahan besar-besaran. Di daerah berkembang, hampir seluruh lahan kosong diubah menjadi gedung-gedung tinggi dan mewah. Berlomba – lomba memajukan pembangunan daerah adalah solusi tepat untuk bertahan di tengah persaingan yang ketat. Sistem pendidikanpun tidak dirancang sesuai kebutuhan Sumber Daya Manusia, namun disusun menyesuaikan kurikulum pendidikan yang bertujuan mempersiapkan daya saing. Seperti itulah kondisi yang terjadi di era globalisasi. Apakah Indonesia telah siap menghadapi Globalisasi yang sesungguhnya?
Malcom waters², seorang professor sosiologi dari Universitas Tasmania, berpendapat, Globalisasi adalah sebuah proses sosial yang berakibat pembatasan geografis pada keadaan sosial budaya dan menjadikannya kurang penting yang terjelma di dalam kesadaran manusia. Tidak semua manusia bisa bertahan hidup di era-Globalisasi. Bukan hal yang mudah untuk bertahan dalam sistem mengglobal. Emanuel richter², guru besar pada ilmu politik Universtas Aashen, Jerman, berpendapat, bahwa Globalisasi adalah jaringan kerja global secara bersamaan yang menyatukan masyarakat yang sebelumnya terpencar-pencar dan terisolasi kedalam saling ketergantungan dan persatuan dunia. Umumnya, pihak yang kuat akan keluar menjadi pihak yang dominan begitu juga sebaliknya. Indonesia masih belum memiliki sikap dalam hal ini, yang terlihat bahwa Indonesia mulai melakukan perubahan besar – besaran dalam menyambut datangnya Globalisasi tanpa melihat rakyat yang masih butuh banyak perhatian.
Pada sepuluh tahun yang lalu, handphone atau laptop adalah kebutuhan tersier yang terbilang mahal untuk masyarakat Indonesia. Namun, berjalannya waktu dan seiring kuatnya pengaruh negara Kapitalis, kedua barang tersebut menjadi gaya hidup bahkan telah menjelma menjadi sebuah kebutuhan. Contoh lain, yaitu tingkatan Taman Kanak – Kanak saat ini harus mahir membaca dan menulis, yang seharusnya pelajaran tersebut baru diperoleh saat duduk di bangku Sekolah Dasar. Sehingga banyak anak Indonesia yang kehilangan waktu bermainnya hanya karena kedua orang tua dan guru menginginkan anak tersebut menjadi manusia-manusia yang siap bersaing tanpa melihat potensi lain dari seorang anak. Dan pastinya akan menjadi kontradiksi yang “membatu” tanpa penyelesaian di dalam masyarakat untuk menghadapi Globalisasi.
Dampak Kecil Globalisasi
Kemungkinan besar penerapan Globalisasi tidak dapat dihindari oleh sebuah negara, tapi menjadi pilihan bagi setiap manusianya. Tidak ada keharusan untuk menjadi pemeran dalam sistem tersebut, tidak ada yang salah jika tidak mengikuti arus. Namun menjadi diri sendiri adalah solusi untuk dapat menentang arus penjajahan di era-Globalisasi. Bukankah menjadi diri sendiri jauh lebih baik dibanding memaksakan diri menjadi sama dengan kebanyakan orang. Mau dan belajar keras adalah kunci sukses untuk mencapai tingkatan pendidikan yang tinggi. Globalisasi menuntut masyarakat untuk berpikir komersial. Segala sesuatu yang bisa menghasilkan uang pasti akan diusahakan entah itu pantas atau tidak.
Globalisasi telah suskes menjadikan manusia seperti robot. Nilai yang ditanam adalah uang, jabatan dalam mengikuti perkembangan zaman. Moral, hati nurani atau bahkan tata karma -adat dan budaya- sudah bukan hal yang penting lagi. Kebutuhan bersosial dilupakan. Kita menjadi manusia-manusia yang bermental “kerdil”. Hanya kekayaan yang menjadi acuan, hingga hadirlah sebuah tanggapan bahwa: “ Era Globalisasi seperti sekarang, orang yang baik adalah orang yang tidak akan bisa bertahan karena semua orang telah berubah menjadi orang yang berbeda. Saat kita masih menjadi orang yang baik, kita tidak lebih seperti orang gila di tengah kalangan orang normal “
Salah satu tugas Globalisasi ialah membebasan sebuah produk untuk masuk ke sebuah negara. Hal ini mengakibatkan masyarkat “latah” akan barang – barang luar. Hingga berdampak pada ketergantungan terhadap barang-barang luar dengan alasan tingkat kepercayaan diri jika tidak memakainya. Hal ini membuat barang hasil produksi lokal atau tradisional akhirnya dianggap kuno dan harus ditinggalkan. Tanpa disadari kita seperti seorang manusia yang bertopeng dan malu akan wujud asli yang dimiliki.
Indonesia adalah bangsa yang dikenal berbudi pekerti tinggi serta memiliki keanekaragaman budaya yang sangat indah. Masyarakatnya sangat ramah dan selalu tulus dalam bersikap. Namun, Globalisasi mampu mengikis semua itu secara perlahan. Keindah dan kedamaian akan lenyap ditelan sejarah dan yang tertinggal hanyalah cerita masa lalu.
Catatan kaki:
¹ Globalisasi : sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit ( Wikipedia ).
² Malcom Waters dan Emanuel Richter adalah dua pakar pendidikan yang menentang Globalisasi. Karena akan berdampak kepada penjajahan baru.
*Nurindrayanti Pramastyorini-Mahasiswi Teknik Sipil ITS
Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 5 (02 – 15 Mei 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!