Oleh: Bung Donny*
Sebuah film drama Amerika yang disutradarai Richard LaGravenese dan telah dirilis 5 januari 2007 lalu. Diangkat dari sebuah buku yang berdasarkan kisah nyata, “The Freedom Writers Diary”. Dengan tokoh utama Erin Gruwell yang diperankan oleh Hillary Swank. Mengisahkan bagaimana perjuangan seorang guru dalam mengajar murid-muridnya untuk menemukan “kebebasan”. Film yang dapat menjadi bahan renungan dan inspirasi.
Di awal film kita langsung diperlihatkan dengan maraknya isu golongan(rasisme) yang terjadi pada tahun 1994 di Long Beach, California. Perkelahiaan dan penembakan antar golongan merupakan hal yang “wajar”. Empat golongan yang saling bersitegang: kulit putih, kulit hitam, asia, dan latin. Masing-masing dari mereka ingin melenyapkan satu sama lain demi sebuah nama baik. Anak-anak teracuni dengan kondisi sekitar, yang akibatnya mendapat “warisan” -kebencian terhadap golongan lain-. Seperti sebuah sirkulasi yang tidak ada habis-habisnya. Yang mereka fikirkan hanyalah kebanggaan saat mereka berjuang untuk golongan mereka. Masalah yang sama dengan bentuk berbeda pun telah menjangkiti ITS.
Woodrow Wilson High School, tempat di mana Erin mengajar untuk pertama kalinya. Erin memilih Wilson karena program integrasi yang dijalankan sekolah tersebut. Kelas 203 menjadi saksi sejarah dimana Erin mengawali kisah dengan anak-anak didiknya. Sebagian dari mereka telah merasakan pahitnya penjara. Erin pun tidak disukai. Di kelas, Erin dianggap orang kulit putih yang tidak tahu apa-apa akan kehidupan mereka. Aroma rasisme sangat kental. Anak didik Erin duduk berkelompok sesuai dengan golongan masing-masing. Erin ingin menyadarkan mereka, bahwa hidup seperti yang mereka jalani sekarang bukanlah hal yang baik. Erin memulai niatnya dengan meminta pihak sekolah untuk meminjamkan buku bagi anak didiknya, tetapi ditolak. Hal tersebut tidak membuatnya surut. Dia memutuskan untuk bekerja paruh waktu demi pengadaan buku. Salah satu buku yang diberikan Erin adalah The Diary of Anne Frank. Erin melakukan hal tersebut agar murid-muridnya sadar bahwa perang antar golongan yang selama ini berkecamuk sungguh tidak memanusiakan manusia. Lambat laun harapan Erin mendapati titik terang. Kegigihan perjuangan dan keikhlasan seorang guru membuahkan hasil. Kepuasan adalah yang terpenting bagi Erin. Rasa puas saat dirinya dapat bermanfaat bagi sesama.
Kembali ke freedom writers anak didik Erin berinisiatif untuk mendatangkan Miep Gies, sahabat Anne Frank. Usaha keras pun mereka lakukan. Dari berjualan makanan sampai mengadakan konser. Miep Gies pun datang. Pengalaman Miep Gies memberikan sebuah pandangan baru bagi penghuni kelas 203. bahwa hidup adalah pilihan. Jika telah yakin pilihan itu benar maka jalanilah. Sudahkah kita seperti itu? Sudahkah ITS tercinta ini berpijak pada kebenaran?
Sejauh ini Erin telah berhasil mendidik siswa-siswanya. Namun ternyata keberhasilan Erin didampingi dengan kegagalan. Keberhasilannya harus di bayar dengan pengorbanan yang tidak di inginkan. Terlalu focus dengan pekerjaannya, rumah tangganya terbengkalai dan berakibat perceraian. Tetapi apakah hanya karena Erin gagal dalam membina rumah tangga, lantas dia dinyatakan tak pantas memberi nasihat ke orang lain? Apakah kemudian Erin dinyatakan tidak pantas mendidik orang lain? Dalam hal ini setiap orang pasti pernah menggoreskan noda hitam dalam hidupnya. Akan lebih bijak melihat apa yang disampaikan, daripada melihat siapa yang menyampaikan. Apakah masih banyak orang di ITS ini yang hanya menilai seseorang dari penampilan? Jika iya, apakah seperti itu cara menilai seorang yang mengaku terpelajar? Percayalah, seburuk apapun orang terlihat, masih ada kebaikan dalam dirinya.
Hal yang menarik dilakukan oleh Erin, dan hal itu menjadi batu loncatan dalam menggapai harapan. Erin memberikan anak didiknya sebuah diary dan memberikan kebebasan atas diary tersebut. Sebuah kebebasan pun mereka rasakan saat menulis. Dimulai dengan menulis apa yang mereka rasakan dan alami. Ternyata dengan menulis dapat mereduksi beban pikiran dan kegalauan. Beban pikiran tersebut mereka tuangkan dalam bentuk tulisan. Sangat sederhana. Tidak dibutuhkan kemahiran dalam menulis, cukup bermodalkan kemauan. Jika kita tidak dapat menyatakan secara langsung, maka kita dapat menyatakannya dalam bentuk tulisan. Dalam film tersebut, Erin dapat memahami apa yang anak didiknya rasakan dari tulisan mereka. Apakah menulis telah menjadi budaya di ITS?
Tidak salah jika film tersebut bejudul freedom writers, kebebasan penulis. Anak didik Erin menulis apa yang ingin mereka tulis. Tulisan yang sederhana dan dapat memberikan perubahan. Dari situ dapat dilihat bahwa menulis memberikan manfaat. Menulislah, dari tulisan terekam ide-ide besar. Menulislah, dengan menulis kita dapat berkomunikasi dengan banyak manusia di masa ini dan di masa depan. Menulislah, untuk sekedar menggerus beban yang ada dalam pikiran kita. Menulislah, maka banyak hal dapat tersampaikan.
*Donny Mitra Virgiawan-Mahasiswa Matematika ITS
Freedom Writers telah didiskusikan pada ‘bedah film’ tanggal 22 April 2011 di BAUK ITS.
Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 5 (02 – 15 Mei 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!