Oleh: Bung Rafli*
Antara tanggal 15-24 April 2011, saya dan 13 mahasiswa ITS lainnya berkesempatan untuk menggali kearifan budaya di Palembang dalam rangka Festival Teater Mahasiswa Naisonal (festamasio ) V yang diselenggarakan oleh Teater Gabi Universitas Sriwijaya. Perjalanan Surabaya-Palembang jalur darat selama 3 hari 2 malam. Kemudian merasakan terik mentari dan sepoian ramah angin malam kota “ampera” selama 6 hari. Dan akhirnya kembali ke hingar bingar kota yang terkenal dengan ikon ‘suro’ dan ‘boyo’ 3 hari berikutnya. Menyadarkan saya akan kekayaan warna, keberagaman budaya, dan kesenjangan status sosial masyarakat. Yang akhirnya berujung pada satu pernyataan “Inilah Sebenarnya Indonesiaku”.
Pukul 14.00 lebih sedikit, kereta Gaya Baru Malam Selatan jurusan Pasar Turi (Surabaya) – Senen (Jakarta) melaju –kadang cepet, kadang lelet- membelah jalanan kota dan sawah pedesaan. Di atas mesin tua inilah ratusan orang kelas ekonomi berlatar belakang menengah ke bawah tumpah ruah menjadi satu. Ragamnya suku, budaya, usia, pekerjaan tak lagi menjadi penghalang untuk berbaur. Saling memperebutkan sedikit celah bangku-bangku tua dan ruang-ruang kosong di sudut gerbong. Bilik ponten pun menjadi harapan untuk sedikit melepas lelah. Sejenak kemudian, ratusan suara menggema memenuhi relung udara; ada yang menjajakan makanan, minuman, pakaian, mainan, alat dapur, alat kesehatan, atau hanya sekedar jeritan lara anak-anak jalanan, pengamen, bahkan pidato keagamaan. Semua bercampur aduk. Menawarkan kejujuran batin anak bangsa. Mengharapkan sedikit sisa kasih yang ada. “Dan inilah, sebenarnya Indonesiaku”.
Saat kereta mengakhiri perjalanan di stasiun Jatinegara, Jakarta, saya mendaratkan seluruh memoar unik semalaman di kereta. Dan me-refresh kembali intuisi yang masih tersisa. Karena fenomena baru pasti akan membanjiri kotak memori yang tersedia.
Bermula dari seorang pengamen yang merenggangkan kedua kakiknya dan bersuara “ngah-ngah-ngah” tak jelas sambil membolak-balikkan telunjuk tangan. Ia pun mengais sisa rezeki dari penumpang bus kota. Dan begitulah cara hidupnya untuk bertahan dari ancaman jiwa yang setiap saat bisa tamat, tanpa diketahuinya. Sedang di samping jalanan, gedung-gedung menjulang tinggi, mall-mall mewah bertebaran, mobil-mobil menderukan gaung mesin dengan angkuhnya. “Apakah ini sebenarnya Indonesiaku?”.
Setelah menyeberangi selat sunda dan menyusuri jalanan pulau Sumatera kurang lebih 12 jam. Akhirnya saya tiba juga di ibu kota provinsi Sumatera Selatan, Palembang, yang di akhir tahun nanti menjadi tuan rumah Sea Games 2011. Di berbagai kantor dan ruang publik lainnya selalu ramai dengan bendera negara ASEAN. Ramah masyarakat menyambut pendatang. Dengan menggunakan bahasa Indonesia yang aksen ‘a’nya diganti ‘o’ tapi berbeda logat dengan bahasa Padang, percakapan ringan pun bergulir. Beberapa kebanggan kotanya diceritakan; dari Pasar 10 Ulu, Hutan Wisata Punti Kayu, Benteng Kuto Besak, Danau Wisata Kambang Iwak, Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II dan terakhir; ikon yang paling dibanggakan adalah Jembatan Ampera. Jembatan yang penduduk kotanya memberi slogan “kebanggan wong kito” itu sangat menarik. Terkadang saya mendengar tambahan kata ‘gelo’ di akhir slogan itu yang berarti “kebanggaan kita semua”. “Dan inilah, sebenarnya Indonesiaku”.
Festamasio V dihelat di kota yang terkenal dengan “empek-empek” ini selama 7 hari. Dan karena itulah, saya dan beberapa anggota Teater Tiyang Alit ITS Surabaya bisa tiba di kota ini. Melihat rumah Limas, jembatan Ampera, sungai Musi dan bertemu dengan teman-teman Nusantara; Teater Nol Unsyiah Aceh, Teater Rumah Teduh Univ Andalas Padang, Teater Talas Unismuh Makassar, Teater Sisi UMSU Medan, Teater Lakon UPI Bandung, Teater Gajah Mada UGM Yogyakarta, Teater Sirat IAIN Surakarta, Teater Komsan STAIN Pontianak dan puluhan komunitas teater lainnya. Sebuah pementasan yang paling berkesan dari Teater Gajah Mada Yogyakarta, berkisah tentang seorang penjual mainan tradisional, yang semakin hari sepi pembeli. Ia-pun bermimpi bertemu dengan segerombolan anak dan bermain permainan tradisional. Seperti ‘cublak-cublak suwung’, ‘ular naga’, ‘delek-delekan’, ‘lompat tali’, dsb. Ketika terbangun kembali, sang istri tergopoh-gopoh mendatanginya dan berkata, “ada tamu yang datang, sepertinya sih ia mau membeli tanah kita untuk nantinya dibangun gedung permainan modern.” “Apakah ini sebenarnya Indonesiaku?”.
Banyak hal yang saya temui selama perjalanan. Menyaksikan keramahan orang Indonesia di berbagai tempat. Kekayaan alam yang melimpah ruah. Keunikan bahasa dan budaya di setiap jengkal tanah Indonesia. Budaya ‘nrimo’ yang dihadirkan masyarakat kecil. Membuat beberapa pertanyaan dan pernyataan yang timbul dari pikiran saya. Bertanya tentang hal “apakah ini Indonesiaku” ataupun mengeluarkan pernyataan “inilah Indonesiaku”. Membuat kearifan tersendiri dalam warna masyarakat Indonesia. Adapun hal lain yang diramaikan anggota DPR tentang pembangunan gedung mewah senilai 1,1 triliun “itu bukanlah Indonesiaku”. Masalah kemiskinan yang hingga saat ini belum terselesaikan, pendidikan mahal yang biayanya selalu naik setiap tahun, dan kesehatan yang langka bagi warga tak mampu di dusun-dusun terpencil. Dengan hati berontak saya katakan, “ITU BUKAN INDONESIAKU”.
*R. Arif Firdaus Lazuardi-Anggota Teater Tiyang Alit ITS
Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 5 (02 – 15 Mei 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!