Oleh: Bung Rafli*
Penguasa yang saya hormati. Satu periode akan tunai dalam waktu dekat. Tentunya, banyak jejak yang sudah penguasa tinggalkan dalam menjalankan tugas negara. Dan saya ingin mengungkapkan rasa ‘terima kasih’ yang selama ini terpendam. Sebenarnya saya malu dan sungkan untuk menulisnya. Tapi bukankah Pramoedya Ananta Toer pernah menulis dalam karyanya Bumi Manusia; “seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” Oleh sebab itu, saya tidak boleh tinggal diam, sebaliknya saya harus mem-berani-kan diri mengutarakannya:
Terima kasih penguasa. Yang sudah mengeluarkan keputusan skorsing kepada tiga teman saya. Karena dianggap tidak memiliki etika ketika demonstrasi ‘aksi lapindo’. Dengan begitu menyadarkan saya bahwa membela rakyat kecil dengan cara yang tidak elegan akan merugikan diri sendiri. Ke depan, tentunya saya akan berhati-hati dalam berdemonstrasi dan menggunakan cara yang manis (bisa menjilat, atau memakai topeng) untuk menyelesaikan sebuah permasalahan—dan dengan cara seperti inilah politikus negara membela rakyatnya.
Terima kasih penguasa. Yang sudah menetapkan kebijakan tidak diperbolehkannya adik-adik mahasiswa baru untuk mengikuti segala bentuk kegiatan di luar akademik (semacam pengkaderan, ospek, dsb). Hal ini membuat saya menjadi mahasiswa licik dan pengecut. Karena mengelabui penguasa dengan proposal kegiatan yang saya ajukan (semisal penggantian nama kegiatan atau konsep yang tidak sesuai dengan proposal). Lantas saya pun mendidik mahasiswa baru dalam lingkaran kelicikan dan kepengecutan—dan dengan cara seperti inilah para anggota dewan mengelabui negara dan rakyatnya.
Terima kasih penguasa. Yang sudah mengeluarkan keputusan skorsing untuk teman saya yang nekat ‘ngrecoki’ adiknya (dalam pengkaderan). Walau saya sudah membelanya sepenuh hati di depan penguasa. Tapi usaha yang ada sia-sia, setelah itu saya terbisu dan terdiam. Berpikir seribu kali untuk melanjutkan proses yang sudah separuh jalan saya lalui―dan dengan cara seperti inilah Orde Baru membungkam suara rakyatnya.
Terima kasih penguasa. Yang sudah mengatur sistem sedemikian rupa dalam pencairan anggaran dana kegiatan mahasiswa. Yang memaksa saya untuk membuat stempel dan kuitansi palsu. Jujur, saya terpaksa melakukan hal itu, sebab tidak ada cara lain lagi agar kegiatan bisa terlaksana dengan lancar—dan dengan cara seperti inilah para pejabat mengkorupsi uang rakyatnya.
Terima kasih penguasa. Yang sudah menetapkan kebijakan nominal SPP baru bagi adik-adik mahasiswa tahun depan. Sehingga sedikit banyak menutup peluang anak miskin bangsa untuk mengenyam pendidikan yang layak di kampus ini―dan dengan cara seperti inilah lingkaran kemiskinan dan kebodohan terus berkutat di tengah kehidupan rakyat jelata.
Terima kasih penguasa. Yang sudah membawa perguruan tinggi ini ke deretan kampus terbaik di dunia. Tentu hal itu tidak lepas dari prestasi saya di berbagai bidang: karya mekanik, program kreativitas, penemuan dan penelitian ilmiah, serta seabrek prestasi lainnya. Dan untuk bisa seperti itu, saya sering melanggar jam malam yang sudah ditetapkan penguasa (s.d 23.00). Saya tidak tahu, apakah dengan begini menobatkan saya sebagai mahasiswa pelanggar aturan. Atau memang kebijakan jam malam yang tidak tepat sasaran—dan dengan cara seperti inilah wakil rakyat berkilah dalam menunaikan kewajibannya.
Terima kasih penguasa. Yang sudah menjadikan saya mahasiswa pintar dengan IPK tinggi. Walaupun untuk meraihnya, saya harus menyalin jawaban teman ketika mengerjakan tugas dan mencontek ketika ujian. Juga telah menjadikan saya mahasiswa yang berdisplin ketat, karena harus memenuhi syarat minimal hadir dalam perkuliahan 80 persen. Seringkali untuk memenuhi daftar hadir, saya menyuruh teman untuk mengisi kolom tanda tangan yang ada—dan dengan cara seperti inilah pegawai negara memakan gaji buta dari rakyatnya.
Sebenarnya, masih banyak lagi rasa terima kasih yang ingin saya lontarkan. Berhubung tempat saya menulis surat akan ditutup dengan kerangkeng alumunium (lokasi di kantin). Saya ‘sangat terpaksa’ dan dengan ‘tidak ikhlas’ menyudahinya. Lantas saya beranjak keluar untuk melanjutkan kehidupan saya sebagai mahasiswa. Belum lagi selangkah saya keluar dari ‘kungkungan alumunium’, saya harus melihat beberapa teman mahasiswa boyongan. Karena tempat aktifitas kemahasiswaan yang ditempati sebelumnya akan direnovasi.
“Mas, disuruh pindah lagi ya?”
“Ya gitu lah, seperti biasa.”
“Tapi nanti kembali lagi toh, kan cuma direnovasi.”
“Dulu kan juga pernah seperti itu, tapi buktinya ya enggak. Malahan isu yang beredar, gedung ini akan dijadikan BANK,” jawabnya lesu.
*Ironis, melihat bangunan negara yang semestinya dapat dipergunakan untuk kepentingan mahasiswa. Diambil alih oleh kegiatan ekonomi kapitalis*-jikalau isu itu benar.
*R Arif Firdaus Lazuardi-Mahasiswa Matematika ITS
Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 3 (4 – 17 April 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!