Minggu, 03 April 2011

Menyandera untuk Apa?


Oleh: Bung Samdy*
Ketika Bung Karno menjadi diktator, ia sadar tidak bisa sendirian. Tanpa dukungan penuh militer, ia bisa setiap saat dikudeta seperti pemimpin-pemimpin sipil lainnya. Mau tak mau Bung Karno wajib merangkul kekuatan lain agar bisa mengimbangi kekuatan bersenjata TNI Angkatan Darat.
Siapakah yang dipilih Bung Karno? Jika membaca sejarah kita akan tahu bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI)-lah yang paling seia-sekata memberi dukungannya pada Pemimpin Besar Revolusi itu. Dengan kemampuan agitasi massa PKI, segala “proyek” Bung Karno seperti penghancuran Nekolim, pengganyangan Malaysia, dsb. punya dukungan riil.
Hubungan Bung Karno dan PKI ibarat simbiosis mutualisme. Tanpa Bung Karno yang wibawanya tak tertandingi itu, PKI bisa dihancurkan seketika oleh perwira-perwira TNI—beserta masyarakat—antikomunis. Di sisi lain Bung Karno dapat menunjukkan kehebatannya sebagai orator lewat pengerahan massa yang dilakukan PKI.
Tapi, hubungan itu tidak bertahan lama. Terjadi kemudian peristiwa G30S (tanpa harus ada garis miring PKI) tahun 1965 yang klimaksnya adalah pembubaran PKI oleh Soeharto. Dan, Bung Karno pun tidak punya pendukung setia lagi seperti yang disediakan PKI sebelumnya. Akhirnya, kekuasaan proklamator kita itu pun berakhir dengan tragis pada tahun 1967.
Mungkin jika kita bawa sejarah itu ke masa kini, Bung Karno dan PKI bagaikan dua pihak yang “saling menyandera”. Istilah ini sekarang digunakan untuk menggambarkan hubungan partai politik yang saling tukar kasus demi menyelamatkan kekuasaan dan citra mereka.
Dimulai dari Partai Demokrat yang tersangkut dana talangan Bank Century  dan melibatkan Wapres Boediono dan Sri Mulyani. Karena dapat berujung pada impeachment (dijatuhkan dari jabatan) yang dirancang partai-partai lain, Partai Demokrat memainkan kartu. Korban pertama adalah Partai Golkar yang ketuanya dituduh mengemplang pajak dan pernah bertemu Gayus Tambunan. Begitu pula PDIP yang kader-kadernya menikmati uang pelicin dari Miranda Gultom.
Kedua partai yang ngotot tersebut tentu akan berpikir ulang apabila hendak menjatuhkan Boediono. Sebab pemerintah yang dipimpin SBY dapat setiap saat menyeret Aburizal Bakrie ke muka hukum yang bisa berimbas pada citra Golkar. Pun hal yang sama tidak dikehendaki PDIP dengan melihat kader-kader setianya mengenakan seragam napi kasus korupsi.
Terakhir, PKS juga kena batunya. Salah seorang mantan kader partai itu mengadukan pemimpin teras PKS ke KPK karena dugaan korupsi. Kita bertanya-tanya: benarkah kader PKS melakukan hal itu? Bukankah selama ini mereka mengklaim sebagai partai paling bersih sekaligus paling bermoral? Lagipula, mereka adalah partai kader. Jangan-jangan metode pengkaderan PKS dari mahasiswa hingga pejabat hanya pintar “membungkus  politik dengan baju agama”. Dengan bungkus yang cantik itu semua orang bisa tertipu dan hasilnya sama saja dengan partai lainnya.
Namun, ada satu hal yang patut kita renungi. Partai-partai di Indonesia sekarang ternyata penuh dengan orang-orang bobrok. Mungkin terlalu naif sebab tidak semua politikus itu busuk. Yang jadi perhatian adalah mengapa partai-partai itu “cari selamat” dengan memanfaatkan kesalahan partai lain? Tidak bisakah ada sebuah partai yang diisi oleh orang-orang bersih sehingga mereka betul-betul melaksanakan amanat rakyat tanpa harus takut partainya digilir ke ranah hukum?
Disandera Tanggung Jawab
“Manusia dilahirkan bebas,” kata Jean Jacques Rousseau dalam buku Perihal Kontrak Sosial, “namun ia terbelenggu.” Mengapa filsuf Prancis abad 18 itu mengatakan demikian? Jawabannya ada pada hakekat manusia sebagai makhluk sosial. Dengan kondisi seperti ini, manusia tidak bisa seenaknya sendiri karena—meskipun ia bebas—ada kewajiban untuk berbuat bagi orang lain. Dalam bahasa sederhana, setiap manusia punya tanggung jawab.
Seorang tukang becak mengayuh becaknya dan mengantarkan penumpang sebanyak mungkin demi makan anak-istri dan jajan sang buah hati. Seorang guru harus mengajar sebaik mungkin agar anak didiknya bisa mendapat ilmu. Tentara tidak bisa menolak jika diterjunkan dalam medan perang yang beresiko. Seorang dokter harus menjalankan sumpah Hipokrates dengan sepenuh hati. Para pemimpin agama sebisa mungkin menjauhkan umat dibakar di api neraka.
Intinya, siapa pun punya tanggung jawab. Apalagi para pejabat yang mengurus banyak orang: bupati, gubernur, menteri, presiden. Di kampus misalnya, rektor dan para pembantunya harus menjelaskan kepada mahasiswanya apa yang ingin mereka ketahui; jangan hanya pintar beretorika, tapi kosong dalam isi.
Apa yang disebut tanggung jawab tadi tidak bisa tidak memang membelenggu atau menyendera kita dan menjadi makanan sehari-hari seorang anak manusia dalam hidupnya. Kita tidak bisa lepas sekalipun punya kesempatan melakukannya.
Sayangnya, penyanderaan yang terjadi belakangan bukan sepenuhnya karena kemuliaan tanggung jawab. Seperti yang sudah dicontohkan pada kasus antarpartai, penyanderaan yang dilakukan tak lebih dari memanfaatkan ketakutan pihak lain atas kesalahan mereka sendiri. Padahal salah satu manifestasi tanggung jawab adalah bersedia menerima konsekuesi apabila berbuat salah.
Parahnya, takut menanggung konsekuensi itu justru lebih mengintimidasi. Bahkan sebagai mahasiswa kita membelenggu diri kita dengan ketakutan terhadap “si empunya wewenang”. Kita dibuat ngeri atas ancaman-ancaman pada kita meskipun tahu bahwa apa yang kita lakukan tidak hanya benar, malah merupakan keharusan. Dengan kondisi terkekang itu, kita pun akhirnya tidak berani berbuat apa-apa selain berprilaku layaknya burung yang mem-beo dalam sangkar.
Kini, yang harus kita lakukan adalah terus-menerus mencari tanggung jawab. Apakah itu tanggung jawab langsung ataupun tanggung jawab tak tampak—yang tidak dirasakan langsung tapi punya efek jangka panjang—semisal belajar dengan serius untuk membangun bangsa ini dari ketertinggalannya di segala bidang. Jangan melakukan sesuatu karena “apa yang bisa kudapat dari apa yang  kulakukan”, tapi ikhlaslah!
Dengan begitu, bangsa ini di kala generasi kita memimpin nanti tidak seperti dikatakan penyair Schiller—suka disitir Bung Hatta—yang hanya menemukan manusia-manusia picik hatinya. Saya tidak mau, kita tidak mau, dan semua tidak ada yang mau bukan? Selamat menyandera!
*Samdysara Saragih-Mahasiswa T. Fisika ITS
Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 3 (4 – 17 April 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!