Minggu, 03 April 2011

Perjuangan Mahasiswa: Dulu dan Kini


Oleh: Bung David*
Dahulu, kaum intelektual (mahasiswa) Indonesia bersatu dalam semangat nasionalisme untuk merebut kemerdekaan. Nasionalisme mahasiswa saat itu didasari pada adanya musuh bersama, yaitu kolonial Belanda. Lantas saat ini, ketika kemerdekaan Indonesia menginjak usia ke-65, nasionalisme macam apa yang tepat diterapkan para mahasiswa Indonesia dalam perjuangan mereka?
Ada preseden mengenai nasionalisme, yaitu adanya kebutuhan mengenai kehadiran musuh bersama. Musuh bersama ini tentunya subyek yang memang memiliki pengaruh buruk pada masyarakat. Pada masa pergerakan menuju kemerdekaan, musuh bersama yang dihadapi mahasiswa adalah nyata, yaitu penjajah.
Siapa itu mahasiswa yang sebenarnya? Suatu pertanyaan yang akhir-akhir ini muncul dengan adanya dinamika yang terjadi dalam kehidupan mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa yang digambarkan sebagai sosok yang muda, berintelektual, dan kritis seakan makin luntur dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena adanya kegagalan pemahaman makna transisi status dari siswa ke mahasiswa; serta didukung adanya berbagai macam godaan di zaman yang serba pragmatis seperti saat ini.
Kegagalan pemahaman makna transisi status itu terlihat dari sikap mahasiswa yang masih identik dengan sikap seorang siswa yang masih berada di dunia sekolah. Seperti individualis, kegundahan khas remaja di masa pubertas, dan cita-cita yang tinggi tanpa didasari usaha nyata serta dilengkapi oleh godaan sikap hedonisme.

Mahasiswa saat ini seakan lupa siapa dirinya dan untuk apa mereka
duduk di bangku kuliah. Kaum minoritas intelektual ini sebenarnya merupakan tulang punggung pembangun bangsa dan negara menuju perubahan yang lebih baik. Sedikit kita melihat sejarah perubahan bangsa, di mana motor penggerak utamanya adalah mahasiswa. Seperti kemerdekaan Indonesia yang tidak lepas dari peranan kaum muda dan mahasiswa, peralihan Orde Lama ke Orde Baru, dan yang terakhir adalah Reformasi 1998 yang meruntuhkan Orde Baru. Namun pola pikir semacam ini kadang tidak dipahami oleh seorang mahasiswa yang kadang menganggapnya sebagai pola pikir yang ‘berat. Negara sudah ada yang memikirkan, mengapa kita ikut berpikir tentang negara?” begitulah gampangnya sedikit pola pikir yang ada saat ini. 

Zaman dulu
lawan yang harus dihadapi adalah riil: penjajah, penguasa Orde Lama, atau penguasa Orde Baru. Zaman ini, lawan yang dihadapi adalah hal yang abstrak, hedonisme, dan apatisme. Paham-paham seperti ini semakin tumbuh berkembang dalam diri mahasiswa seiring dengan pencarian jati dirinya. Bahkan sampai saat ini masih ada mahasiswa yang bingung tentang jati dirinya dan kebingungan dalam menentukan arah hidup selanjutnya. Mahasiswa yang kebingungan tersebutlah mayoritas terjebak dalam pusaran hedonisme yang pasti berpusat pada hura-hura dan sifat konsumtif. Memenuhi kepuasaan pribadi seakan membudaya. Shopping, clubbing, narkoba, free sex mewarnai kehidupan mahasiswa saat ini.
Hal-hal semacam itulah yang identik dengan mahasiswa saat ini.
Mahasiswa yang Seharusnya
Sebenarnya mencari kesenangan itu wajar saja asalkan tidak berlebihan. Contohnya dengan ikut organisasi yang dapat membentuk pola pikir kita menjadi lebih kritis dan progresif: menulis, membaca atau berdikusi. Relaksasi (pacaran, berkaroke, nonton di bioskop, jalan-jalan bersama teman) itu juga perlu untuk menyegarkan pikiran agar tidak terlalu tertekan dan frustasi dengan kegiatan sehari-hari. Hal itu manusiawi karena setiap orang butuh sedikit intermezzo hiburan tapi tetap kembali ke awal tadi: seorang mahasiswa harus mengerti batas-batas kewajaran dalam mencari kesenangan hidup dan tetap berpegang teguh pada ajaran agama.

Kemudian ada sebuah realita yang saat ini membudaya di
kalangan muda. Mahasiswa yang seharusnya up to date berita atau isu-isu nasional malah hanya up to date status di Twitter atau Facebook. Hal seperti ini jika dipikir ulang memang aneh namun merupakan sebuah realita yang ada. Tapi penilaian saya secara umum terhadap hal seperti ini wajar karena mahasiswa  adalah jiwa muda yang ingin selalu mengekspresikan hati, pikiran, dan perasaannya melalui berbagai macam media. Dan tidak sepenuhnya jejaring sosial tersebut semua bernilai negatif; ada juga hal positifnya.
Ekspresi-ekspresi yang ditimbulkan tadi sebenarnya merupakan buah dari kekuatan yang dimiliki oleh setiap mahasiswa, antara lain kekuatan moral (moral force), kekuatan ide (power of idea), kekuatan nalar (power of reason). Tapi kadang tidak diolah dan dikelola dengan baik sehingga kekuatan-kekuatan tersebut tidak berfungsi secara optimal bagi mahasiswa dalam usaha menggapai semua cita-citanya. Atau bahkan malah terjerumus ke hal yang negatif karena kegagalan mengelola beberapa kekuatan yang dimilikinya.

Bahkan saat ini mayoritas mahasiswa berpikir instan
: ingin menjadi orang sukses namun tidak mau berusaha dan bekerja keras. Padahal dalam sebuah forum, Husein Haikal (guru besar UNY) pernah berkata,untuk menjadi orang hebat dan sukses itu usaha dan tantangannya luar biasa.” Tidak ada orang besar di negeri ini yang masa mudanya hanya dipenuhi oleh kegiatan hura-hura dan foya-foya. Pasti masa mudanya dijalani dengan usaha keras. Berpikir, membaca, berdiskusi, dan menulis merupakan kegiatan mereka sehari-hari. Jadi lebih baik kita mencontoh hal-hal tersebut dan bukan malah mencontoh hura-hura dan foya-foya.

Yang dibahas di atas
merupakan deskripsi dari mahasiswa secara umum. Sebenarnya kita patut bersyukur dan bangga jika dapat menyandang status “mahasiswa karena hanya sekitar 4,3 juta orang atau 5 persen penduduk Indonesia yang bisa merasakan pendidikan tinggi. Rasa syukur itu dapat kita wujudkan dengan benar-benar menjadi seorang “MAHASISWA” dan bukan menjadi “mahasiswa angin-anginan” atau “mahasiswa abal-abal”. Namun secara intelektualitas, pola pikir, dan tindakan tidak menunjukan predikat sebagai seorang mahasiswa. Mari kita jalani the real education ini dengan baik dan sepenuh hati untuk menggapai impian dan kesuksesan yang kita idamkan hingga pada akhirnya nanti mendapat sebuah pengakuan atas semua usaha yang kita lakukan saat ini.
Perjuangan Mahasiswa belum Selesai
Mahasiswa adalah bagian dari generasi muda yang diharapkan akan meneruskan cita-cita bangsa. Itulah ungkapan yang sering kita tahu dari orang-orang di sekitar kita. Dengan keadaan bangsa kita yang sekacau ini, masihkah mahasiswa menjadi harapan penerus estafet pembangunan bangsa? Tanda tanya besar  yang  jawabannya pasti akan klasik. Generasi bangsa sebagai penerus yang diharapkan dapat meneruskan estafet pembangunan saat  ini masih sekedar wacana.
Banyak yang harus kita perjuangkan: pengembalian jati diri bangsa yang semakin memudar, krisis kepercayaan yang harus diyakinkan kembali, dan pembenahan moralitas yang semakin bobrok. Mungkin masih banyak lagi yang harus kita benahi. Jangan pernah berpikir semua itu bukan tugas kita karena nyatanya berhubungan dengan masa depan kita. Mahasiswa adalah konseptor dari perubahan bangsa yang menyeluruh dan mahasiswa jangan sampai puas hanya menjadi kuli dari pergerakan yang ada.
Perjuangan harus terus dijalankan. Roda kehidupan harus terus berjalan seiring dengan perjuangan kita menuju Indonesia yang lebih baik. Bangsa yang tahu bagaimana menghargai diri sendiri dan dapat mengerti dan peka terhadap keadaan sekitar.
*David Hetristiari Napitupul-Mahasiswa T. Fisika ITS
Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 3 (4 – 17 April 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!