Sabtu, 19 Maret 2011

SPP Naik, Masalah Nggak Sih?


Oleh: Bung Rafli*
Sebagian orang beranggapan bahwa uang adalah masalah. Tapi, saya tidak setuju. Ungkapan itu hanya berlaku bagi seseorang yang tidak memiliki uang.  Sedang mereka yang punya sejuta lembar kertas berharga dan timbunan harta, uang adalah anugerah. Nah, kaitannya dengan SPP bagaimana? Masalah atau anugerah? Brodol, seorang mahasiswa yang tak pernah henti meneriakkan perjuangan menimpali , “Woey, kalau itu sih gak ada kaitannya! SPP adalah kewajiban. Bukan masalah atau anugerah,” teriaknya lantang.
“Menarik.” SPP jelas kewajiban.
SPP naik? Tetap kewajiban, atau berubah jadi masalah, atau malah jadi anugerah.
Si A berkomentar: “SPP naik jelas bermasalah. Coba pikirkan, dalam kurun waktu 2 tahun tanpa ada gejolak ekonomi yang signifikan di kehidupan bernegara kita SPP bisa naik 44 persen, dari sebelumnya 1.250.000,00 menjadi 1.800.000,00. Padahal gaji para orang tua belum tentu naik 20 persen dalam 2 tahun terakhir. Kalau ini dibiarkan, maka kampus kita hanya akan diisi oleh anak-anak kaum borjuis. Atau paling tidak, anak miskin bisa tetap kuliah di kampus ini, tapi bapaknya di kampung harus memeras keringat lebih payah. Dan ibunya melilit erat sarung di perut dengan lilitan yang sangat rapat.”
Si B menimpali: “Eh tidak juga, anak yang tidak mampu dapat mencari beasiswa. Bahkan SPP naik bisa menjadi anugerah baginya. Karena ia bisa mendapatkan kesempatan meraih beasiswa double. Sehingga jatahnya jadi naik. Kalau sebelumnya, bagi teman kita yang dapat beasiswa double tidak begitu terasa jatahnya. Kali ini, pasti mereka tersenyum manyun dan tertawa bahagia. Karena jatahnya lebih banyak. Bukan begitu…. Wah, tiap semester bisa beli inventaris baru tu…
Si C mencerca. “Tidak bisa begitu dong….Enak saja membuat kesimpulan tanpa data dan fakta yang tepat. Kita harus mengerti, kenapa SPP ini bisa naik dan apa alasan pejabat terkait memutuskan kenaikan SPP. Beliau-beliau kan bukan orang sembarangan, banyak gelar yang bergelantungan di depan dan belakang nama mereka. Setidaknya, mereka pasti mengerti lah kondisi mahasiswa yang nantinya akan masuk di kampus kita. Sederhananya, kalau kemampuan daya beli mahasiswa angkatan 2011 tinggi, SPP sebesar 1,8 juta sih tidak ada harganya. Masak untuk membayar puluhan juta di depan mereka mampu, sedang bayar SPP yang 1,8 tidak bisa?”
Si D berang. “Lho, yang seperti itu kan hanya 40 persen dari total mahasiswa baru. Yang 60 persen gimana? Tidak semua dari mereka berasal dari keluarga mampu. Kalau saya sih masih husnudzonberprasangka baik. Peraturan baru yang dikeluarkan Pak Menteri dalam Permendiknasnya tentang kuota penerimaan mahasiswa baru 2011 di PTN dibuat agar perguruan tinggi tidak menjadi oknum komersialisasi pendidikan. Dan harapannya sungguh mulia, agar anak miskin di desa dapat mengenyam pendidikan yang layak. Tapi kalau SPP dinaikkan, ini sungguh kebijakan yang menyengsarakan. Tidak bisa dijadikan jalan pintas perguruan tinggi untuk memenuhi kebutuhannya dan menjadikannya solusi atas Permendiknas yang baru diputuskan.”
Brodol, sambil memakan lahap beberapa gorengan, dan menyeduh kopi hitam panas sambil mengepulkan asap rokok, santai berkata, “Lha ngapain ngotot masalah SPP, yang merasakan SPP naik kan mahasiswa baru. Kalau kita sih santai saja, tidak ada perubahan. Wes, belajar ae biar IP kita tinggi; atau bikin proposal PKM biar  berprestasi dan turut menyumbang kampus kita jadi wold yunivelsiti. Biar gak kalah dengan kampus lain. Ha-ha-ha…”
“Huuu…”, beberapa mahasiswa kecewa dengan sikap brodol dan bergumam misuh gak karuan. Beberapa lain setuju manggut-manggut dan mulai meninggalkan meja diskusi. Dan pembahasan pun berhenti seiring kepulan asap rokok yang menyongsong tinggi ke angkasa.
Dan masalah ‘SPP naik’ pun tetap seperti sediakala. Berbaur dengan kesibukan mahasiswa yang  mengerjakan tugas dan berorganisasi. Mengambang, tanpa sikap dan arah yang jelas.
Seandainya saja di forum perdebatan itu hadir Wiji Tukul, seorang aktivis 1998 yang ditangkap, diculik, dan hilang tak pernah kembali. Pasti memberikan pesan singkat kepada kita: “Hanya ada satu kata: LAWAN!”
*R Arif Firdaus Lazuardi-Mahasiswa Matematika ITS
Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 2 (21 Maret - 7 April 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!