”Pendidikan”, begitulah istilah formal yang kita gunakan untuk menggambarkan suatu pola pengajar dan peserta didik yang saat ini. Derajat pendidikan begitu kita muliakan sekaligus dijadikan instrumen penilaian terhadap kualitas hidup seseorang. Pendidikan semacam ini pada akhirnya mengarahkan kita pada segala sesuatu yang bersifat materi dan kebendaan—kita diatur untuk menjadi calon-calon materialis.
Permasalahan sekarang adalah apakah pendidikan seperti di atas sudah mewakili pendidikan yang seharusnya kita dapatkan; yang seharusnya manusia dapatkan? Dengan banyak realita kontemporer yang kita hadapi sekarang nilai empiris dijadikan tolok ukur kepintaran, otorisasi pengajar yang tidak pandang aspek moral, kebutuhan akan materi (duit) melebihi kebutuhan penerus bangsa ini, pendidikan instan yang mengacuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Sekarang, yang sedang dilakukan oleh pendidikan kita hanyalah untuk melahirkan tenaga spesialis koruptor besar.
Sekolah Kita
Mengutip kata Freire bahwa “pendidikan ditujukan untuk humanisasi diri dan sesama melalui tindakan sadar untuk mengubah dunia. Pendidikan harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia…pendidikan yang mengimplikasikan konsep tentang manusia yang bersifat subjektif sekaligus objektif”.
Perlu digarisbawahi dari pernyataan di atas sekaligus disandingkan dengan kenyataan sekarang, bahwa orientasi pengenalan realitas diri—bukan tentang orientasi memiliki banyak materi, bukan tentang orientasi untuk berkuasa, bukan tentang orientasi menjadi pengusaha besar. Hal awal yang perlu diamati dalam sekolah-sekolah manusia saat ini, kita malah terlebih dahulu dipupuk dengan harapan dan trik untuk mencapai tujuan kebendaan, akhirnya membawa pemikiran pragmatis tentang keadaan sosial dan lingkungan. Implementasinya membawa peran egois individu yang ikut dalam pendidikan tersebut.
Selama sekolah dicirikan dengan hal tersebut, tidak akan terjadi suatu perbuatan yang berlandaskan pengetahuan berasaskan kemanusiaan dan bertolak dari realita sosial. Pendidikan awal yang ditanamkan di sekolah untuk seorang manusia seharusnya berorientasi pada keadaan manusia itu sendiri. Bukankah yang merubah, mengganti, membuat ide akan semua kejadian saat ini adalah dari manusia itu sendiri? Bukan dari kondisi yang malah merubah manusia untuk menyesuaikan diri dengan keadaan sekarang. Mengetahui siapa diri kita sejak awal adalah salah satu syarat lahirnya generasi dunia terbaik. Bagaimana kita ingin merubah sesuatu kalau kita tidak memiliki referensi sebagai pembanding—dan pembanding yang paling kita tahu seharusnya diri kita sendiri?
Model pendidikan dalam sekolah-sekolah saat ini mencerminkan mobilisasi kuat yang dilakukan oleh pemegang ilmu—yang sedang belajar diposisikan sebagai orang yang tidak tahu apa-apa, sedangkan yang memberikan pengajaran memposisikan diri sebagai orang yang mengerti segala hal. Padahal mereka hanya lulusan sarjana tertentu saja. Implementasinya adalah terciptanya hegemoni sektor yang diperagakan dalam ruang-ruang kelas dan ber-AC.
Pendidikan Guru dan Murid
Sudah pada dasarnya ketika kita berbicara tentang pendidikan secara sadar kita harus tahu bahwa pendidikan itu berawal dari dialog-dialog dan komunikasi. Berangkat dari hal itulah kita mendapatkan pendidikan yang menciptakan rangsangan dari dua arah. Ketika hal itu tidak dapat diciptakan, maka pendidikan hanya jadi strategi dominasi, sama halnya dengan melakukan penindasan pada nilai-nilai dasar manusia.
Perlu diingat bahwa kompenen penting yang ada dalam pendikan secara umum adalah tentang pengajar dan muridnya; secara logika sebagai seorang yang sadar sebagai seorang pelajar, mencermati, memberikan respon terhadap pendidikan yang ada merupakan prinsip untuk mendapatkan suatu pendidikan. Sedangkan sebagai seorang pengajar, yang notabenenya sebagai orang yang lebih tahu terhadap hal yang diberikan, sewajarnya tidak hanya berprinsip untuk memberikan pengajaran, lebih dari itu, penafsiran terhadap realita diri dan lingkungan yang sesuai dengan pendidikan yang diberikan merupakan hal yang menstimulus agar pendidikan tersebut dapat diterima sebagai suatu cara hidup.
Dalam kenyataannya, ada distorsi pemahaman tentang pendidikan. Salah satunya dalam proses pendidikan yang kita anggap sebagai bentuk formalisasi pengetahuan, sehingga akan terdampar pada eksistensial pemahaman bentuk pendidikan. Padahal pendidikan sendiri merupakan proses untuk mencapai suatu kebebasan: kebebasan dalam berpikir kreatif, saling mengoreksi suatu permasalahan, bertindak menurut pemahaman yang didapatkan dari suatu pendidikan dengan alasan yang kuat dan logis, memahami esensi berkata ”tidak” dari suatu pendidikan.
Melahirkan penerus bangsa yang ideal merupakan catatan penting yang harus kita semua pikirkan. Kita tidak bisa menafikan bahwa adanya institusi pendidikan merupakan langkah dinamisator untuk mencapai hal tersebut. Keterlibatan pengajar dan murid merupakan salah satu komponen yang mendukung.
Tapi bagaimanakah sikap yang sewajarnya dimiliki oleh kedua komponen itu sebagai akselarator? Menurut Freire, konsep yang perlu ditanamkan bahwa posisi seorang guru dalam pendidikan adalah sebagai seorang pengajar sekaligus seorang murid. Begitupun dengan murid, dia harus memposisikan diri sebagai sebagai seorang murid sekaligus seorang pengajar dalam suatu pendidikan. Menjadi contoh dari suatu pendidikan adalah pendidikan itu sendiri; bukan kita pusatkan pada guru ataupun muridnya, karena pendidikan tidak seharusnya dimaknai dengan keadaan formalitas yang kita ciptakan secara kelembagaan dan institusi.
Pendidikan Manusia
Ada satu paradigma yang terbentuk dalam pikiran saya ketika memaknai pendidikan yang sampai sekarang kita peragakan di Indonesia, ketika membayangkan begitu rapuhnya pendidikan yang ada di Indonesia, yang hanya menghasilkan—tapi sarjana-sarjana itu kita hempaskan, ketika banyak sarjana-sarjana yang kita lahirkan tapi kebingungan, ketika semua yang kita katakan sebagai jargon pendidikan dinilai dengan takaran materi, dan ketika keinginan untuk belajar di pasung dengan sebuah tekanan dan sikap apatis—karena kita kurang memiliki motif dan kurang paham tentang pendidikan terhadap manusia itu sendiri.
Ada suatu ungkapan yang masih saya ingat bahwa ”manusia itu merupakan makhluk yang unik”. Oleh sebab itu dasar pendidikan haruslah kita mulai dari sifat dan nilai-nilai dasar seorang manusia dengan melakukan pendidikan berbasis realitas diri; membangun karakter manusia; belajar dalam suatu keprofesian yang didasarkan atas realitas diri dan lingkungan; menghubungkan dan menggabungkan suatu keilmuan dengan kehidupan dan sejarah. Hal itu saya dasarkan karena melihat realitas produk pendidikan formal di Indonesia.
Pendidikan yang berkiblat pada potensi manusialah yang harus mulai kita tanamkan sehingga secara logika setiap orang pasti akan mendapatkan dan melakukan pendidikan—karena tidak ada satupun manusia yang tidak memiliki potensi. Jaya Mahasiswa, Jaya Bangsa Indonesia!
*Muhammad Iftahul Jannah-Mahasiswa Geomatika ITS
Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 4 (18 April – 01 Mei 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!