Senin, 18 April 2011

Nurdin Halid dan ITS


Oleh: Bung Samdy*
Mungkin tidak semua kita suka bermain ataupun menonton sepak bola. Tapi, sebagian besar kita pasti pernah mendengar satu nama: Nurdin Halid.
Namun tatkala mendengar nama mantan ketua PSSI itu, langsung terbersit semua yang jelek. Dimulai dari korupsi; memimpin PSSI dari penjara; prestasi timnas yang terus anjlok hingga kompetisi yang sarat dengan suap. Intinya, tidak ada yang positif dari dirinya.
Kasus yang paling lucu dan akan terus diingat mungkin bagaimana ia begitu pintar membelokkan kata-kata dalam Statuta PSSI terutama dalam pemilihan ketua PSSI di kongres. Kita mendengar Statuta PSSI ternyata  menyimpang dari Statuta Standar FIFA terutama pasal yang menyebut bahwa ketua  harus “not have been previously found guilty of a criminal offence”. Namun Nurdin yang Toefl-nya mungkin tidak sampai 100 itu justru menggantinya menjadi “tidak sedang dinyatakan bersalah atas suatu tindakan kriminal ketika kongres”. Bagi yang nilai Unas Bahasa Inggrisnya di atas 8 (kecuali jika jawaban Unas dikirim teman atau guru) pasti tertawa terpingkal-pingkal karena ‘previously’ diartikan ‘sedang’.
Meski begitu, kita seharusnya bertanya dalam hati: apakah kebencian orang pada Nurdin tepat sasaran? Kalau dia begitu jago memutarbalikkan Statuta Standar FIFA—yang boleh dikata undang-undang dasar-nya federasi sepakbola sedunia—pemimpin kita yang lain kemungkinan lebih parah mengobrak-abrik undang-undang dasar negara ini.
Lihatlah presiden dan anggota DPR. Mereka sebenarnya sudah tahu bahwa negara ini memiliki UUD yang harus dijadikan pedoman. Artinya undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri; tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Tapi kenyataan kita dapati yang sebaliknya.
Ambil contoh pernyataan “klise” bahwa kecerdasan anak bangsa adalah salah satu dari tujuan didirikannya negara ini. Kalimat itu dimuat di Mukadimah UUD yang statusnya lebih tinggi dari 37 pasal yang ada di UUD itu. Saking keramatnya, para perumus amandemen UUD 1945 tahun 1999 harus membuat konsensus bahwa pembukaan UUD 1945 tidak boleh diubah dengan alasan apapun! Sebab di sana termuat sila-sila Pancasila dan tujuan dari negara ini.
Dalam batang tubuhnya dinyatakan setiap orang berhak mendapat pendidikan. Namun, kita dapati produk hukum yang di bawahnya semakin menjauhkan panggang dari api. UU, PP, permendiknas, dan peraturan rektor justru melarang orang untuk mendapat hak dasarnya itu. Salah satu buktinya UU BHP yang dibuat tahun 2009 ternyata dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945. Sudah cukup?
Perhatikan lagi, apakah si fakir bisa kuliah di ITS jika SPP-nya sebesar 1.8 juta per semester? Saya yakin jawab kita serentak: Tidak! Namun itulah yang terjadi. Mereka yang mengemban kebijakan di kampus ITS memplintir UUD 1945 demi kepentingan jangka pendek mereka.
Katanya kampus ini defisit keuangan; tapi tidak pernah dikatakan apakah defisit itu termasuk biaya untuk main golf—layaknya pengusaha kaya raya dan pejabat—yang dilakukan pimpinan kampus ini misalnya. Atau defisit itu karena terlalu banyak ongkos pencitraan hingga rektor kita mendapat penghargaan PWI Award contoh lainnya. Tidak pernah dibilang!
Dengan kondisi demikian, para pemimpin kita telah melanggar “statuta standar”-nya sendiri yaitu UUD 1945. Bahkan kalau mau jujur, lebih buruk daripada yang dilakukan Nurdin Halid di PSSI. Sebab, kita bisa menduga dia hanya tahu yes/no saja sehingga Statuta Standar FIFA diterjemahkan dengan salah. Tapi, pemimpin kita adalah pemakai bahasa Indonesia dan UUD kita juga tertulis dengan bahasa yang sama. Lucu jika mereka yang punya kadar kecerdasan tinggi tidak bisa menafsirkannya!
Boleh Melanggar, tapi…
Sebenarnya, haramkah jika kita sengaja melanggar sebuah aturan? Saya menganggapnya tidak! Apapun namanya, bahasa hukum itu tidak abadi. Dia hanya kata-kata yang tafsirannya tergantung ruang-waktu.
Bahkan ahli sosiologi hukum almarhum Prof Satjipto Raharjo dalam buku Hukum dan Perilaku mengatakan berhukum itu tidak harus berdasar teks; tapi dengan perilaku manusia itu sendiri. Banyak memang ahli hukum “tekstualis” yang membenci Prof Tjip dengan gagasan hukum progresifnya itu. Tapi Prof Tjip saya pikir ingin mengembalikan manusia ke nilai dasarnya.
Apakah itu artinya kita tidak perlu hukum? Tentu saja pertanyaan ini lebih ngawur! Kita butuh hukum karena percaya bahwa manusia menyimpan bom waktu: potensi berbuat salah! Karena hal ini, manusia harus siap menerima hukuman dari kesalahannya dengan harapan tidak dijadikan contoh oleh orang lain.
Itu artinya hukum bersifat dualisme. Di satu sisi teks itu tidak kekal; sedang di sisi lain dia diperlukan. Di sinilah kita harus mengerti bagaimanakah cara memperlakukan sebuah produk hukum entah apapun namanya: undang-undang, anggaran dasar/anggaran rumah tangga, keputusan rektor, keputusan pres-BEM, keputusan kahima.
Kita boleh-boleh saja melanggar aturan asalkan paham bahwa hal itu dilakukan demi orang banyak. Karena hukum dibuat untuk manusia, sudah sepatutnya manusia-nya yang lebih diutamakan ketimbang kelanggengan sebuah produk hukum yang berdasar kata-kata belaka.
Tapi, bisakah dilakukan dengan seenaknya seperti yang dilakukan Nurdin Halid asli ataupun “nurdin-nurdin” yang tersebar di seantero negeri ini? Seorang yang melanggar aturan harus dilandasi kejujuran dan kesediaan untuk berkorban. Dia tak boleh melakukan pelanggaran itu demi kepentingan dirinya; keselamatan dirinya; lari dari tanggung jawab ataupun sebagai alat untuk membodohi orang banyak. Dengan meminjam istilah Prof Tjip, seseorang harus punya perilaku yang baik seperti “kejujuran, kesantunan, dapat dipercaya, penghormatan terhadap orang lain, kepedulian terhadap sesama, tidak berbuat curang dan jahat kepada orang lain”.
Bagi mereka yang sudah—atau akan—melanggar hukum teks harus terlebih dahulu punya perilaku itu. Tapi sayang, kebanyakan para pembuat hukum dari anggota DPR, presiden, menteri, rektor, hingga ketua himpunan mahasiswa tidak memilikinya. Mereka sering memutarbalikkan fakta dan menutup-nutupi perbuatan haram mereka demi mempermainkan kata-kata atau teks yang ada dalam setiap keputusan mereka.
Padahal, jika perilaku baik itu mereka punyai, mereka tidak perlu menutup-nutupinya. Kita adalah manusia yang pasti berbuat salah. Bapak Psikoanalisis Sigmeund Freud konon pernah berkata dari kesalahan-kesalahan kita dapat menemukan kebenaran. Tapi, saya yakin bukan kesalahan yang bersumber dari perilaku buruk, melainkan kesalahan dengan tujuan mulia. Bukankah Tuhan juga pemaaf?
Konsekuensi dari perilaku Nurdinisme bisa kita lihat dari akhir tragis kekuasaannya. FIFA tidak mengakui lagi Nurdin dan pemerintah melakukan hal yang sama. Begitulah, nurdin-nurdin lain yang ada di kampus kita tercinta ini pun akan mengalami nasib serupa—minimal tidak diakui pernah berjasa bagi rakyat kecil. Mereka tidak meninggalkan tinta emas melainkan tinta air putih yang takkan terbaca karena kering tak lama sesudah tergores di atas kertas. Selamat jalan Nurdin Halid dan nurdin-nurdin lainnya!
*Samdysara Saragih-Mahasiswa T Fisika ITS
Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 4 (18 April – 01 Mei 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!