Sabtu, 19 Maret 2011

Kampus Adalah Penjara Intelektual


Oleh: Bung Yaumil*
Bagi saya kampus adalah penjara baru di dalam dunia pendidikan. Setelah SMP dan SMA tentunya, yang telah duluan mendeklarasikan dirinya menjadi Penjara di dalam dunia pendidikan. Terlepas dari permasalahan utama, pendidikan adalah pembebasan atas kebodohan, keterkungkungan, kebohongan bahkan dari penindasan. Pendidikan adalah solusi permasalahan kebangsaan. Namun pendidikan di Indonesia belum mampu menjawabnya.
Pendidikan Indonesia cenderung mengkungkung atau mematikan karakter seorang manusia. Dapat kita teliti paradigma yang telah membatu dan menjadi kesepakatan umum. Bahwa kuliah ataupun pendidikan hanya sekedar untuk mencari kehidupan yang layak -atau dapat dikatakan- kehidupan di atas rata-rata orang Indonesia. Dan siapa yang patut kita salah kan?? Orang tuakah yang memaksa kita? Atau rektor kampus kita? Atau mungkin Presiden dan Mendiknasnya? Atau para pelaku sejarah sebelumnya yang mengatasnamakan perjuangan pendidikan???
Dimulai dengan melihat perkembangan paradigma masyarakat yang dianggap wajar dan menjadi kesepakatan umum. Yaitu dari orang tua yang sedari awal terus menanamkan sugesti agar cepat lulus kuliah atau melewati tahap pendidikan dengan nilai yang tinggi.
Ada beberapa alasan yang diambil. Pertama adalah masalah ekonomi yang menekan si orang tua untuk tidak menghamburkan banyak duit dengan cara cepat lulus dan bekerja. Lalu yang kedua adalah impian bahwa hidup harus bekerja di perusahaan asing dan mendapatkan gaji yang tinggi. Namun dari kedua hal tersebut, kita tidak pernah diajarkan nilai moral di dunia pendidikan. Adapun nilai moral yang terdapat di dunia pendidikan cenderung ditransformasi secara teori di dalam kelas dan memiliki standar nilai untuk kelulusannya.
Kebutuhan yang saya rasakan di dunia kampus hanyalah teori atau sekedar pelajaran kelas yang diberikan oleh dosen. Pahahal menurut saya, pembelajaran hidup cenderung lebih banyak kita dapatkan di luar kelas dengan tingkat pembelajaran yang lebih sederhana dari contoh-contoh nyata kehidupan masyarakat. Dan tidak membuat kita kaku menghadapi situasi kemasyarakatan setelah lulus kelak.
Saya penah mempertanyakan kenapa setelah tamat dari SMA kita begitu bahagia hingga melakukan hal -hal yang tidak wajar. Kebahagian tersebut ditumpahkan layaknya kebahagiaan menghirup udara bebas dan lepas dari kungkungan yang begitu besar dan menakutkan. Hal tersebut berbanding terbalik dari etika pendidikan yang harus menciptakan kenyamanan dan kebahagiaan, bahkan kepuasan dalam menimba ilmu.
School berasal dari kata belanda yaitu skull (berarti tanah lapang atau tempat yang luas). Yang memiliki makna keluasan dalam mendapatkan pendidikan secara teknis (teori dan dasar-dasar pendidikan) maupun moral (etika dan uang). Tapi makna tersebut sangat jauh melenceng ketika teknis pendidikan sudah tidak mampu lagi diharapkan menjadi pembelajaran hidup. Dan saat ini hanya terfokus pada pembelajaran kelas. Maka moral pendidikan pun telah jauh bergeser. Bagi saya pergeseran tersebut sangat menjauhkan kaum-kaum miskin dominan Indonesia tidak mampu untuk menikmatinya secara nyata. Pendidikan hanya untuk orang yang berduit bukan orang-orang yang niat. Ataupun hanya untuk orang-orang yang bakal bekerja menjadi robot-robot industri bukan menjadi pembuka jalan dari permasalahan bangsa yang krisis lapangan pekerjaan. Data BPS menyatakan bahwa hanya 2% lulusan pendidikan Indonesia yang mampu membuka lapangan kerja.
Bagi saya pendidikan adalah kepuasan dan kebahagiaan yang tak tertandingkan. Karena saya mampu lepas dan terhindar dari nilai-nilai kebodohan dan penindasan. Tetapi sebaliknya, sejalannya waktu saya pun semakin sadar bahwa pendidikan sangat erat hubungannya dengan nilai atau pun angka yang menjadi permasalahan utama teknis di dunia pendidikan.
Contoh yang sangat memaksa saya untuk menerima atau mengenyam nikmatnya pendidikan di Indonesia adalah pelajaran agama. Bagaimana mungkin ilmu agama dapat dinilai dengan angka oleh manusia. Bahkan Tuhan saya pun tidak pernah menilai angka keimanan yang saya miliki.
Dan belum lagi selesai, saya harus memikirkan biaya pendidikan yang begitu mahal -bagi saya yang hanya sekedar anak petani-. Bagaimana kelak saya mampu menghidupi keluarga dan membimbing anak-anak. Andai saat ini saya masih belum mampu menemukan solusi pendidikan (yang hingga saat ini, masih menjadi permasalahan utama bangsa)? Apa saya harus megikuti arus dan menjadi orang-orang biasa dan menyerah pada keadaan.
Apakah sistem pendidikan pesantren klasik yang murah dan tidak mengadopsi sistem pendidikan kelas (ada guru yang berbicara dan murid yang mendengar) mampu menjawab solusi kebangsaan???
Markas/5 Maret 2011-Surabaya
*Yaumil Fauzi Gayo-Mahasiswa Planologi ITS
Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 2 (21 Maret - 7 April 2011)

3 komentar:

  1. maaf saya kurang setuju dengan artikel ini, permasalahan yang diungkapkan disini memang kebanyakan benar terjadi, tapi itu hanya untuk orang-orang yang tidak memiliki niat untuk menjadi lebih baik. merasa terpenjara di kampus berarti orang tersebut memang tidak memiliki niat untuk belajar, karena jika niatnya sudah benar maka bila dia merasa tertekan dia akan menuntut sebuah perubahan dan mengusahakan perubahan tersebut, tidak hanya diam mengikuti arus. terima kaih karena dengan artikel ini saya mengetahui lebih beragam mengenai pandangan orang tentang pendidikan
    santi permasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf saya baru memebaca ulang tulisan ini setelah 2 tahun... jika begitu adanya pemikiran dari jenk sati permasih, buatlah sebuah opini.. saya akan lebih senang membcanya mungkin krn akan lebih luas pandangan jenk dsana nantinya

      Hapus
    2. Maaf saya baru memebaca ulang tulisan ini setelah 2 tahun... jika begitu adanya pemikiran dari jenk sati permasih, buatlah sebuah opini.. saya akan lebih senang membcanya mungkin krn akan lebih luas pandangan jenk dsana nantinya

      Hapus

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!