Oleh: Bung Amen*
Naik…naik…SPP naik tinggi tinggi sekali……………
Kiri kanan kulihat saja banyak rakyat sengsara………
Kiri kanan kulihat saja banyak rakyat melarat ………
Sebuah nyanyian yang 3 tahun lalu dibawakan oleh kawan-kawan mahasiswa ITS pada waktu aksi memprotes kenaikan SPP dari Rp 750.000 per semester menjadi Rp 1.000.000 per semester. Lagu itu menjadi saksi kekuatan birokrasi ITS dalam menaikkan nilai SPP mahasiswa baru angkatan 2004. Sungguh kian mahal biaya kuliah di kampus negeri yang satu ini dan semakin tak terjangkau oleh mereka yang hanya punya modal cita–cita dan kecerdasan, tanpa punya biaya.
Dengan alasan bahwa anggaran pendidikan di kampus teknik memerlukan biaya lebih besar daripada universitas: biaya mahal untuk kebutuhan laboratorium, maintenance alat-alat di laboratorium, sarana pnunjang proses belajar mengajar, dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar pada waktu itu, telah melenggangkan keputusan Rektor Mohammad Nuh untuk menghalalkan kenaikan SPP.
Ironis ketika mendengar ungkapan dari salah satu pejabat keuangan di ITS, bahwa kalau memang ada keringanan pun itu tidak akan diumumkan secara terbuka kepada masyarakat karena pasti masyarakat akan banyak yang meminta keringanan. Lebih ironis lagi melihat mahasiswa-mahasiswa diam ketika tahun ini terjadi kenaikan SPP lagi.
Sudah dibunuh rupanya rasa kepedulian mereka. Sungguh mengecewakan karena hal ini terjadi terjadi di salah satu kampus negeri terbesar di Indonesia yang masih belum berstatus PT BHMN. Jelas-jelas hal ini menunjukkan bahwa ITS tidak berpihak kepada masyarakat lemah dalam usahanya memperoleh pendidikan murah di kampus ini. ITS telah berpihak kepada mereka yang memiliki banyak uang untuk berhak menerima pendidikan. ITS pun membuka Program Kemitraan yang memberikan pemasukan begitu besar bagi kampus sehingga tiap tahun selalu berusaha untuk meningkatkan perolehan mahasiswa baru dari program ini.
Akhirnya mereka yang bermodal cita-cita dan kecerdasan pun tinggal punya harapan kosong untuk bisa merasakan pendidikan kerena ketiadaan biaya. Begitu banyak kewajiban-kewajiban yang telah dibayarkan oleh rakyat pada negara, tetapi mereka masih tidak bisa mendapatkan haknya untuk memperoleh pendidikan yang layak. Sungguh terlalu banyak cita-cita dan mimpi-mimpi indah yang telah terbunuh. Kampus ITS yang katanya berbasis kerakyatan ini malah semakin jauh tak terjangkau oleh rakyat, padahal rakyatlah yang membiayai kampus ini. Tapi, kenapa pejabatnya tidak mengutamakan kepentingan rakyat?
Rasa-rasanya sudah tidak pantas lagi “Pengabdian Masyarakat” dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi dianut oleh ITS; kalau melihat kenyataan ini. Dan kampus ini telah menjadi mimpi buruk bagi dan menakutkan rakyat miskin. Semoga mereka masih mempunyai cita-cita dan selalu bertempur habis-habisan untuk meraihnya! (Ditulis 4 tahun yang lalu, 2007)
*Nukman Haris-Alumni Teknik Fisika ITS
Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 2 (21 Maret - 7 April 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!