Sabtu, 19 Maret 2011

Menjadi Mahasiswa



Oleh: Bung Tomi*
Saya sebenarnya tak begitu peduli lagi soal pergerakan mahasiswa. Bagi saya pribadi, tiap manusia bergerak, seperti angin bergerak, lempeng bumi bergerak, air bergerak, dan sebagainya. Mahasiswa tak istimewa. Dia hanya satu bahagian kecil saja dari alamnya.
“Tapi ini Indonesia”, mungkin begitu kalau para aktivis membantahnya, “mahasiswa adalah pengubah sejarah.” Mungkin begitu pula saya dahulu ikut mengatakannya. Bagi para aktivis, sejarah punya sisi romantis dan sisi magis. Saya akan membahasnya satu persatu.
Mulai dari sisi romantisnya. Seorang aktivis mahasiswa memandang sejarah bukan semata sebagai buku perihal masa lalu. Bukan itu.  Sejarah adalah kata-kata cinta yang menggugah.  Kalimat-kalimatnya adalah musim bunga bersemi dan kata-kata bagai pucuk bunganya. Engkau bisa tersenyum, bahkan menitikkan air mata. Dan ketika engkau tuntas membaca, engkau sudah bukan orang yang sama. Ada rasa cinta membuncah di dada. Kalau engkau baca sejarah Indonesia, hasilnya adalah rasa cinta yang murni pada engkau punya bangsa. Kalau engkau baca sejarah Asia, hasilnya adalah rasa kagum pada spirit ketimuran yang luhur. Kalau engkau baca sejarah dunia, hasilnya adalah rasa cinta pada umat manusia. Itu sisi romantisnya.
Tapi jangan lupa, sejarah punya kekuatan magisnya. Kekuatan cinta akan mendorongmu untuk menjadi bagian dalam kehidupan sejarah itu sendiri. Semakin lahap engkau pada sejarah, semakin engkau terhisap pada kemauan sejarah. Engkau akan menjadi bagian darinya. Dari sekedar pembaca, menjadi yang dibaca. Dari sekedar penonton, menjadi aktor yang ditonton. Ada satu kekuatan yang tiba-tiba merasukimu dan mengubahmu, hingga engkau menjadi kuat berlipat-lipat, bersinar penuh cinta, dan bercahaya baik lewat kata maupun tindakan.  Engkau semakin hidup, dan engkau  “terhubung” dengan tokoh-tokoh sejarahnya, baik lewat ucapan maupun perbuatan. Itulah sisi magisnya.  
Benci dan Cinta           
 Hanya saja, aktifis sering tidak mendapatkan rasa cinta itu. Tapi malah memelihara kebencian. Mereka membaca sejarah, tetapi mendapatkan kesimpulan yang tak terarah. Antipati pada Barat, misalnya. Benci pada Amerika Serikat, contoh lainnya. Atau muak pada penguasa. Macam-macam bentuk kebenciannya. Padahal hal itu malah mengerdilkan diri sendiri. Rasa benci tidak bisa membesarkan jiwa. Cintalah yang membebaskannya.
Saya kasih contoh sederhana. Ketika aktivis pergerakan mahasiswa ITS era 2003-2007 melontarkan kritik pada Rektor Mohammad  Nuh, dasarnya bukan kebencian. Itu sebabnya tak pernah sedetik pun Komite Aksi melakukan demonstrasi menuntut beliau turun. Yang kami kritik adalah kebijakannya, atau sebagian sikapnya yang abai pada kritik mahasiswa dan nasihat para anggota senat tua yang lebih bijaksana. Pernah, seorang peserta aksi dengan penuh canda berteriak:  “Turunkan, Nuh!” Langsung teman-temannya sendiri menegur saat itu juga.
Begitu pula saat aksi demonstrasi menolak kedatangan Presiden SBY di kampus ITS, kalau tak salah tanggal 24 bulan Desember tahun 2004, tidak ada spanduk meminta beliau turun atau tuntutan mencabut mandatnya. Tidak ada! Kritik adalah kritik, bukan benci. Intelektual adalah seorang cendekia, yaitu orang yang mengembangkan rasa cinta pada hal-hal baik, dan menempatkan rasa benci hanya pada cara-cara jahat yang berpotensi merusak hal-hal baik.
Memang benar, sejarah punya penafsirannya sendiri. Tiap orang yang membaca obyek lain di luar dirinya punya subyektifitasnya, seperti diingatkan oleh filsuf eksistensialis semacam Kierkegaard hingga Jean Paul Sartre. Saya tidak memungkirinya. Perdebatan di antara para aktifis adalah contoh nyata betapa subyektifitas itu ada dan tidak untuk ditiadakan. Sekali lagi, saya tidak memungkirinya. Oleh karena itu saya akan menghadirkan betapa sejarah juga tak mutlak mengandung keajaiban bagi manusia yang membacanya.
Engkau mungkin pernah menemui kemuakan ketika membaca sejarah. Selain mengandung upaya pembebasan manusia, sejarah juga menyimpan sisi terburuknya. Membaca sejarah peradaban manusia, misalnya, kita akan menemukan betapa takluknya orang pada hal-hal yang tak kekal. Kekuasaan duniawi, atau kepuasan ragawi. Raja-raja bertarung dengan raja-raja lain, lalu lain waktu bercumbu dengan para permaisuri. Semakin modern, pertarungannya lebih kompleks dan tertutup: lewat dominasi ekonomi hingga pengerahan kekuatan militer. Raja modern duduk di balik meja, perintah sini perintah sana. Percumbuannya juga disembunyikan. Lihat saja Berlusconi, Perdana Menteri Italia itu.
 Engkau harus siap untuk menemui kebiadaban tersebut saat membaca sejarah. Siap pula untuk menemuinya di alam kenyataan tempat engkau hidup sekarang. Yang perlu diingat adalah: tak semua penguasa buruk mutunya. Jangan disamaratakan. Tak ada itu asas “sama rasa sama rata”.
Sejarah Kini dan Nanti
Lantas bagaimana engkau harus menjadi mahasiswa di tengah tarikan sejarah seperti itu? Menjadi. Ada satu alasan tertentu mengapa saya memulai tulisan ini dengan kata tersebut. To be or not to be, kata William Shakespeare, pujangga Inggris itu. Engkau, aku, kami, kita, mereka, kalian, siapa pun itu, punya pilihan. Menjadi atau tidak sama sekali. Pertanyaannya, mahasiswa mau menjadi seperti apa?
Engkau mampu menjadi pemimpin, karena engkau memang pemimpin. Paling tidak engkau memimpin dirimu sendiri, lalu berkembang memimpin organisasimu, atau keluargamu, masyarakatmu, perusahaanmu, bangsamu, atau lembaga antarbangsa. Engkau mampu, kalau engkau mau. Mau untuk belajar. Mau untuk berkembang. Mau untuk menerima kritik seperti dedaunan bersukaria menyambut hujan yang turun rintik-rintik. Membuka wawasan seluas cakrawala di atas kepala, mau berusaha pantang menyerah seperti seekor elang belajar mengepakkan sayapnya untuk terbang, mau berjuang seperti seekor beruang di kutub terdingin bumi ini untuk menyesuaikan dirinya dengan berbagai perubahan yang datang. Kalau dedaunan, elang, dan beruang mampu, engkau pun harus mampu mengembangkan dirimu. Asal ada kema(mp)uan,  ada jalan untuk maju.
Engkau adalah pengubah sejarah. Kalau dahulu Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Tan Malaka, HOS Cokroaminoto, Haji Agus Salim, M  Yamin, dan sebagainya memerdekakan bangsa ini dari cengkraman koloni penjajah, sekarang giliranmu membebaskan bangsa ini dari cengkraman korupsi penguasa. Mulai saja dari diri sendiri. Mulai untuk tidak korupsi. Mulai untuk mendiskusikan isu-isu antikorupsi, menggalang semangat pencegahannya, kemudian menggerakkan elemen-elemen lain untuk pemberantasannya. Kalau dulu pendiri negara berjuang agar kemerdekaan diakui, sekarang waktunya memimpin masa perjuangan baru agar keadilan dan kemakmuran negara terwujud.
Engkau mampu, kalau engkau mau. Hauslah akan ilmu. Selalu dahaga pada ilmu pengetahuan. Kuasai teknologi. Jangan habiskan waktumu hanya melulu berpikir soal orasi dan demontrasi massa aksi. Dalam alam demokrasi, banyak cara yang bisa ditempuh untuk menyampaikan opini dan ekspresi. Mulai dari bernyanyi, menari, melukis, menulis, memotret, menjual jasa, hingga membuat prestasi di bidang riset dan teknologi. Banyak sekali.
Pertanyaannya, mahasiswa mau menjadi seperti apa? Hanya engkau, para mahasiswa, yang bisa menjawabnya. Tapi kalau engkau tanyakan padaku, maaf, aku sudah tidak peduli lagi pada pergerakan mahasiswa. Bagiku pribadi, tiap manusia bergerak, seperti angin bergerak, lempeng bumi bergerak, air bergerak, dan sebagainya. Mahasiswa tak istimewa. Dia hanya satu bahagian kecil saja dari alamnya. Aktifis mahasiswa tak perlu manja untuk harus dipikirkan oleh orang lain yang bukan aktifis lagi.
Temukan jalanmu sendiri untuk menjadi. Asal engkau segar dan bugar, sehat sejahtera dan bahagia, jalan saja terus!
Yogyakarta, 2011.
*Tomi-Planologi ITS (keluar th 2007)
Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 2 (21 Maret - 7 April 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!