Oleh: Bung Samdy*
Seekor tikus lari sekuat tenaga sambil keringatnya bercucur. Di belakangnya, si kucing mengejar penuh nafsu. Dengan segenap daya si tikus berusaha menyelamatkan diri: piring dilempar, stick kasti dipukulkan. Setiap pelosok rumah dilalui. Tiba-tiba...hup, si kucing berhasil menangkap si tikus. Dengan tatapan licik, digenggamnya si tikus yang mukanya memohon iba.
Dimakankah si tikus? Tiba-tiba si kucing teringat masa lalunya bersama si tikus. Seakan-akan dia ber-tanya dalam hati, “Kalau kumakan tikus ini, dengan siapa lagi aku kejar-kejaran?” Akhirnya si tikus dilepas. Tak berapa lama, si tikus mengejek si kucing. Dan…, ceritapun kembali seperti semula.
Saya kira kita yang sekarang menjadi mahasiswa ITS pasti bisa menebak, cerita apakah gerangan yang saya cuplik di atas. Itulah kisah serial kartun Tom and Jerry yang melegenda itu. Kita habiskan masa kecil dengan penantian di televisi tayangan kartun yang kalau kita kenang kembali betapa menipu kita: bagaimana mungkin si kucing tidak bisa menang lawan si tikus kecil itu? Semua tinggal kenangan.
Tapi, saya teringat kembali cerita kartun itu ketika menyaksikan perkembangan dunia pendidikan tinggi kita khususnya setelah keluar Permendiknas No 34 Tahun 2010 tentang Pola Penerimaan Mahasiswa Baru Program Sarjana pada Perguruan Tinggi yang Diselenggarakan oleh Pemerintah.
Dalam Permendiknas itu, setiap perguruan tinggi negeri (PTN) diwajibkan menjaring minimal 60 persen mahasiswa lewat pola penerimaan mahasiswa baru secara nasional melalui dua cara: tertulis dan undangan.
Seleksi tertulis telah kita kenal dengan nama Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Namun, setelah Permendiknas tersebut terbit, SNMPTN kini tidak lagi sebutan untuk seleksi tertulis melainkan menjadi SNMPTN tertulis dan SNMPTN undangan. Setiap PTN berhak menentukan perbandingan antara SNMPTN tertulis dan undangan. Sebanyak 40 persen sisanya lagi hak prerogatif PTN.
Siasat PTN
Sebagian besar PTN (di tulisan ini yang dimaksud PTN adalah semua universitas negeri, termasuk PT BHMN) tentu tidak terlalu keberatan dengan peraturan baru. Kuota mereka dari SNMPTN (tertulis) bahkan lebih dari 60 persen. Namun, yang kebakaran jenggot adalah PTN-PTN besar, khususnya yang berstatus PT BHMN. Porsi SNMPTN mereka biasanya sangat kecil, hingga di bawah 10 persen.
Kita tahu, PTN-PTN besar itu memanfaatkan jalur-jalur lain—katakanlah ujian masuk yang dilakukan secara mandiri ataupun Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK)—untuk memperoleh biaya besar. Mereka sadar, tingginya minat memasuki kampus-kampus besar itu dapat dimanfaatkan menarik keuntungan lebih dari calon mahasiswanya. Biasanya, memungut SPP yang kelewat tinggi dan uang pangkal di luar kewajaran.
Dengan cara seperti inilah kebanyakan PTN besar mendapatkan pemasukan. Dalih mereka anggaran dari pemerintah tidak cukup sehingga dengan tanpa dosa melakukan praktek yang nyaris tiada ujung tersebut.
Untuk menghadapi PTN “nakal” seperti itu—mungkin—Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh mengeluarkan peraturan baru yang harus dipatuhi PTN. Sebab, selama ini tidak ada aturan yang jelas terkait batasan penerimaan mahasiswa dari jalur-jalur yang lazim digunakan PTN.
Bagaimana responnya? Luar biasa! Seakan mau “menghapus dosa”, beberapa PTN besar langsung mengumumkan bahwa tahun ini seleksi dilakukan 100 persen lewat SNMPTN! Di antaranya ITB dan UGM.
Berhasilkah usaha Gus—panggilan akrab anak kiai—Nuh? Ternyata eh ternyata, semua yang dilakukan nyaris tidak ada gunanya. SNMPTN 100 persen hanyalah kedok belaka. ITB untuk tahun ajaran baru langsung menaikkan SPP hingga 5 juta rupiah pukul rata dan uang pangkalnya mencapai 55 juta rupiah (wow!) tanpa pandang bulu (www.itb.ac.id).
Tidak perlu lagi disebutkan modus PTN-PTN yang kebakaran jenggot. Bahkan untuk kampus kita tercinta ini, janji tak tertulis bahwa SPP naik 3 tahun sekali langsung dilanggar. Tahun depan, adik-adik kita harus membayar SPP 1.8 juta rupiah dan uang pangkal sebesar 5 juta rupiah demi mencicipi kuliah di kampus penyandang nama Sepuluh Nopember ini.
Mirip dengan kisah Tom and Jerry bukan? Coba perhatikan. Si kucing atau Tom adalah Mendiknas yang terus-menerus mengejar (membuat aturan) si tikus Jerry (rektor PTN). Tapi, ketika sudah tertangkap (rektor PTN ketahuan berkelit/melanggar aturan), si Tom tidak memakannya (memberikan sanksi atau hukuman), tapi justru membiarkannya.
Saya pikir, Mendiknas harus menjadi “kucing” yang—sesuai dengan hukum alam—memakan “tikus-tikus” yang kelewat bandel itu. Caranya, buatlah Permendiknas atau kalau perlu amandemen UU Sisdiknas yang bisa memberi sanksi langsung terhadap mereka.
Jika tidak, kita akan terus menyaksikan drama layaknya Tom and Jerry yang memang diskenariokan tidak pernah usai. Dan, kecerdasan anak bangsa ini pun hanya jadi impian kosong bapak bangsa kita yang sudah berkalang dengan tanah. Mari kita tunggu!
*Samdysara Saragih-Mahasiswa Teknik Fisika ITS
Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 2 (21 Maret - 7 April 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!