Mengkritik
dan dikritik adalah bingkai kehidupan. Seolah menjadi bagian dari cara kita
berkomunikasi dengan orang lain. Apa yang kira-kira akan terjadi jika
komunikasi yang kita bangun dengan orang lain hanya bersifat formalitas belaka?
Mungkin akan tercipta suatu peradaban dimana masyarakat di dalamnya acuh tak
acuh satu dengan yang lain, atau bahkan hanya berbasa-basi terhadap
permasalahan orang lain.
Berangkat
dari latar belakang masalah di atas, Langkah
Awal hadir untuk mencoba bersumbangsih bagi kehidupan mahasiswa di kampus
Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Memberikan opini-opini yang berisikan
kegelisahan sang penulis akan kondisi sosial yang tak kunjung membaik, serta
tak kunjung henti menyampaikan kritik-kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang
bertentangan dengan kepentingan rakyat. Seperti dalam edisi 17 Langkah Awal kali ini—mencoba
menelusuri jejak kejadian Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI)
dari sudut pandang seorang pria bernama Kholid dan Aminah sebagai saksi
sejarah G30S/PKI.
Dapat ditarik gambaran bahwa klaim-klaim kebenaran yang ada janganlah membuat kita berhenti untuk tetap mencari jati diri sebagai manusia yang utuh. Berdialektikalah, selama kita masih mampu berpikir. “Ab esse ad posse!” Begitulah frasa yang terus dipegang teguh oleh Langkah Awal. Dalam bahasa latin frasa tersebut menjelaskan bahwa dari ada menuju bisa atau dari keadaan menjadi pengetahuan yang di awali dari kritikan. Maksudnya ialah dari keberadaan hal (kritikan), maka seseorang bisa mengetahui kemampuannya.
Terima
kasih untuk bung Ma’un Awang-Awang yang mengirimkan puisinya berjudul Dijawab Jangkrik. Semangat berkarya!
Langkah Awal
akan terus mencoba memberikan informasi-informasi yang tajam dan penuh refleksi
untuk memenuhi asupan wawasan dalam kehausan akan ilmu dari setiap mahasiswa
ITS.
Salam
kebebasan berpikir!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!