Rabu, 07 September 2011

Sejumput Sutasoma


limitdoesntexist.wordpress.com

Oleh: Bung Donny*
Sekolah dasar, salah satu tempat di mana kita telah meneguk segarnya ilmu. Masa di mana kita masih asyik menghabiskan waktu dengan bermain. Tak dinyana, dalam usia yang masih begitu belia tersebut kita sudah diperkenalkan dengan sesuatu yang menurutku luar biasa. Sepenggal isi dari Kitab Sutasoma yang menjadi semboyan Bangsa Indonesia: “Bhineka Tunggal Ika”.
Bhineka Tunggal Ika, rangkaian kata itu cukup mudah menyihir kita yang masih duduk dalam bangku sekolah dasar. Berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Sebuah mantra yang mampu menyatukan keberagaman atau kemajemukan Bangsa Indonesia, setidaknya itu yang ada dalam pikiranku waktu itu. Aku pikir bangsa ini benar-benar terinspirasi dengan suatu kerajaan yang pernah berjaya di nusantara. Yang terkenal dengan patih Gajah Madanya. Majapahit. Di sana lah, di Majapahit, rangkaian kata mutiara penuh makna itu lahir.
Romantisme sejarah, memang menyenangkan mengetahui bahwa di nusantara ini, dulu pernah ada suatu kerajaan yang sangat disegani negeri-negeri tetangga. Makmur rakyatnya. Hukum diterapkan dengan bagaimana mestinya. Tapi apakah kita hanya akan terjebak dengan romantisme sejarah tersebut? Tidakkah kita ingin mengetahui bagaimana mereka hidup? Bagaimana persatuan—hal yang sangat kita rindukan sekarang ini—dapat dibangun dan dipertahankan?
Sekelumit cerita berikut mungkin sedikit banyak dapat menggambarkan bagaimana Majapahit menghayati Bhineka Tunggal Ika. Tidak hanya melafalkan dan melihat hanya sampai kulit saja. Tapi juga berusaha memaknai sampai sumsum tulang yang paling dalam. Terkadang nenek moyang kita dahulu lebih bijaksana dalam hal kebijakan, sehingga tak ada salahnya jika kita meluangkan sejenak waktu kita untuk menyelami sejarah bangsa ini. Benarlah apa yang dikatakan Bung Karno; “jas merah”, jangan sekali-sekali melupakan sejarah.
Majapahit merupakan kerajaan yang tidak memaksakan kehendak dalam hal beragama. Tidak seperti kerajaan-kerajaan zaman dulu yang menetapkan satu agama resmi bagi penduduk negerinya. Pada waktu itu telah ada dua agama besar di Majapahit, Siwa dan Budha. Seiring berjalannya waktu, tumbuh suatu kepercayaan baru di Majapahit, Islam. Melihat semakin meningkatnya pemeluk agama islam di Majapahit, Majapahit pun meminta bantuan pengajar (santri) dari kerajaan Champa untuk memfasilitasi penduduk yang beragama Islam. Tapi naas rombongan santri dari Champa tersebut dihantam badai dan akhirnya terdampar di Kerajaan Kambojapura. Bukan pertolongan yang didapat, mereka malah ditawan. Kabar itu pun akhirnya sampai juga ke Majapahit. Tak bimbang, dengan izin Rani Suhita—Raja Majapahit saat itu—berangkatlah tujuh armada perang Majapahit yang dipimpin Raden Arya Bangah menuju Kambojapura untuk menyelamatkan rombongan santri dari Champa. Tidak terjadi pertumpahan darah yang berarti. Pada akhirnya Majapahit mendapat apa yang mereka inginkan. Rombongan santri dari Champa berhasil diselamatkan.
Kita dapat melihat betapa Majapahit dapat mengayomi rakyatnya dengan sangat baik. Islam bukanlah agama penguasa atau sang raja kala itu. Meski demikian, penduduk yang ingin mengenal atau bahkan memeluk dan mempelajarinya diberikan kebebasan, bahkan difasilitasi. Nampaknya Mpu Tantular tidak sembarangan dalam menuliskan Bhineka Tunggal Ika. Karena Bhineka Tunggal Ika benar-benar hidup dan meresap pada kehidupan masa itu.
Angan-angan, mewujudkan persatuan di negara yang begitu majemuk penduduknya seperti Indonesia saat ini bukanlah hal yang mudah untuk dicapai. Bhineka Tunggal Ika yang digadang-gadang menjadi semboyan negeri ini seperti kehilangan kekuatan sihirnya. Tak mampu lagi mempersatukan bangsa yang berada di bawah naungan kibaran sang merah putih. Sejarah tinggal kenangan, cerita kejayaannya tersimpan rapi dalam buku-buku yang menjemukan.
Lantas bagaimana cara mendamaikan orang sekitar dua ratus juta jiwa? Bagaimana meyatukan orang sebegitu banyaknya dan kemudian bersama-sama membangun bangsa yang bobrok ini?  Toleransi dan gotong royong seolah telah habis tak bersisa, hanya dongeng masa lalu. Bangsa Indonesia—yang lahir saat sumpah pemuda dikumandangkan—pernah berjuang bersama merebut kemerdekaan. Toh pada waktu itu bangsa ini berhasil meraih apa yang diharapkan. Tapi entah mengapa bangsa ini sulit untuk mengatur dan mengembangkan dirinya. Apakah kita ini memang belum siap untuk merdeka? Atau memang tujuan bangsa ini hanya merdeka, setelah itu terserah orang yang di dalamnya mau berbuat apa? Aku yakin para pendahulu kita tidak berpikir sesempit itu.
Menurut Otto Bauer, bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib. Jelas! dulu penghuni nusantara memiliki persamaan nasib, penjajahan oleh Belanda. Sehingga lahirlah bangsa Indonesia. Penindasan, caci maki, dan penghinaan di tanah sendiri telah dilewati bersama. Sehingga semua penderitaan itu menyatukan penghuni nusantara untuk meraih suatu yang abstrak bernama kemerdekaan.
Kini kita telah merdeka. Tapi persatuan yang pernah dimiliki bangsa ini seolah tinggal remah-remah. Apakah kita harus menderita bersama lagi agar dapat bersatu? Apakah kita harus ditindas lagi sehingga kita dapat bersatu? Aku pikir tidak. Kita bukanlah sapi yang menunggu cambuk tuannya untuk bergerak. Kita manusia. Kita dimuliakan dengan akal pikiran kita. Sehingga dengan itu kita dapat berpikir dan sadar.
Kesadaran bahwa kita hidup dengan limpahan perbedaan. Yang seharusnya kita bangga akan kekayaan itu. Bukan menjadikannya alasan untuk bercerai-berai atau kalau memang bangsa ini tak mampu, lebih baik hapus saja Bhineka Tunggal Ika. Tak pantas bangsa yang tercerai berai menyandangnya sebagai semboyan. Digadang-gadangkan tapi tak berwujud apa yang dilafalkan. Sekaligus menghapus sila ketiga dari Pancasila—jika diperlukan. Ikan teri dapat menggulingkan kapal karena bersama, maka manusia pasti bisa lebih dari itu jika bersama.
*Donny Mitra Virgiawan-Mahasiswa Matematika ITS
Diterbitkan dalam buletin Langkah Awal edisi 14, 5-18 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!