limitdoesntexist.wordpress.com |
Oleh: Bung Donny*
Sekolah dasar, salah satu tempat di mana kita
telah meneguk segarnya ilmu. Masa di mana kita masih asyik menghabiskan waktu
dengan bermain. Tak dinyana, dalam usia yang masih begitu belia tersebut kita
sudah diperkenalkan dengan sesuatu yang menurutku luar biasa. Sepenggal isi
dari Kitab Sutasoma yang menjadi semboyan Bangsa Indonesia: “Bhineka Tunggal
Ika”.
Bhineka Tunggal Ika, rangkaian kata itu cukup
mudah menyihir kita yang masih duduk dalam bangku sekolah dasar. Berbeda-beda
tetapi tetap satu jua. Sebuah mantra yang mampu menyatukan keberagaman atau
kemajemukan Bangsa Indonesia, setidaknya itu yang ada dalam pikiranku waktu
itu. Aku pikir bangsa ini benar-benar terinspirasi dengan suatu kerajaan yang
pernah berjaya di nusantara. Yang terkenal dengan patih Gajah Madanya.
Majapahit. Di sana lah, di Majapahit, rangkaian kata mutiara penuh makna itu
lahir.
Sekelumit cerita berikut mungkin sedikit banyak
dapat menggambarkan bagaimana Majapahit menghayati Bhineka Tunggal Ika. Tidak
hanya melafalkan dan melihat hanya sampai kulit saja. Tapi juga berusaha
memaknai sampai sumsum tulang yang paling dalam. Terkadang nenek moyang kita
dahulu lebih bijaksana dalam hal kebijakan, sehingga tak ada salahnya jika kita
meluangkan sejenak waktu kita untuk menyelami sejarah bangsa ini. Benarlah apa
yang dikatakan Bung Karno; “jas merah”, jangan sekali-sekali melupakan sejarah.
Majapahit merupakan kerajaan yang tidak memaksakan
kehendak dalam hal beragama. Tidak seperti kerajaan-kerajaan zaman dulu yang
menetapkan satu agama resmi bagi penduduk negerinya. Pada waktu itu telah ada
dua agama besar di Majapahit, Siwa dan Budha. Seiring berjalannya waktu, tumbuh
suatu kepercayaan baru di Majapahit, Islam. Melihat semakin meningkatnya
pemeluk agama islam di Majapahit, Majapahit pun meminta bantuan pengajar
(santri) dari kerajaan Champa untuk memfasilitasi penduduk yang beragama Islam.
Tapi naas rombongan santri dari Champa tersebut dihantam badai dan akhirnya
terdampar di Kerajaan Kambojapura. Bukan pertolongan yang didapat, mereka malah
ditawan. Kabar itu pun akhirnya sampai juga ke Majapahit. Tak bimbang, dengan
izin Rani Suhita—Raja Majapahit saat itu—berangkatlah tujuh armada perang Majapahit
yang dipimpin Raden Arya Bangah menuju Kambojapura untuk menyelamatkan
rombongan santri dari Champa. Tidak terjadi pertumpahan darah yang berarti.
Pada akhirnya Majapahit mendapat apa yang mereka inginkan. Rombongan santri
dari Champa berhasil diselamatkan.
Kita dapat melihat betapa Majapahit dapat
mengayomi rakyatnya dengan sangat baik. Islam bukanlah agama penguasa atau sang
raja kala itu. Meski demikian, penduduk yang ingin mengenal atau bahkan memeluk
dan mempelajarinya diberikan kebebasan, bahkan difasilitasi. Nampaknya Mpu
Tantular tidak sembarangan dalam menuliskan Bhineka Tunggal Ika. Karena Bhineka
Tunggal Ika benar-benar hidup dan meresap pada kehidupan masa itu.
Angan-angan, mewujudkan persatuan di negara yang
begitu majemuk penduduknya seperti Indonesia saat ini bukanlah hal yang mudah
untuk dicapai. Bhineka Tunggal Ika yang digadang-gadang menjadi semboyan negeri
ini seperti kehilangan kekuatan sihirnya. Tak mampu lagi mempersatukan bangsa
yang berada di bawah naungan kibaran sang merah putih. Sejarah tinggal
kenangan, cerita kejayaannya tersimpan rapi dalam buku-buku yang menjemukan.
Lantas bagaimana cara mendamaikan orang sekitar
dua ratus juta jiwa? Bagaimana meyatukan orang sebegitu banyaknya dan kemudian
bersama-sama membangun bangsa yang bobrok ini? Toleransi dan gotong royong seolah telah habis
tak bersisa, hanya dongeng masa lalu. Bangsa Indonesia—yang lahir saat sumpah
pemuda dikumandangkan—pernah berjuang bersama merebut kemerdekaan. Toh pada
waktu itu bangsa ini berhasil meraih apa yang diharapkan. Tapi entah mengapa
bangsa ini sulit untuk mengatur dan mengembangkan dirinya. Apakah kita ini
memang belum siap untuk merdeka? Atau memang tujuan bangsa ini hanya merdeka,
setelah itu terserah orang yang di dalamnya mau berbuat apa? Aku yakin para
pendahulu kita tidak berpikir sesempit itu.
Menurut Otto Bauer, bangsa adalah satu persatuan
perangai yang timbul karena persatuan nasib. Jelas! dulu penghuni nusantara
memiliki persamaan nasib, penjajahan oleh Belanda. Sehingga lahirlah bangsa
Indonesia. Penindasan, caci maki, dan penghinaan di tanah sendiri telah
dilewati bersama. Sehingga semua penderitaan itu menyatukan penghuni nusantara
untuk meraih suatu yang abstrak bernama kemerdekaan.
Kini kita telah merdeka. Tapi persatuan yang
pernah dimiliki bangsa ini seolah tinggal remah-remah. Apakah kita harus menderita
bersama lagi agar dapat bersatu? Apakah kita harus ditindas lagi sehingga kita
dapat bersatu? Aku pikir tidak. Kita bukanlah sapi yang menunggu cambuk tuannya
untuk bergerak. Kita manusia. Kita dimuliakan dengan akal pikiran kita.
Sehingga dengan itu kita dapat berpikir dan sadar.
Kesadaran bahwa kita hidup dengan limpahan
perbedaan. Yang seharusnya kita bangga akan kekayaan itu. Bukan menjadikannya
alasan untuk bercerai-berai atau kalau memang bangsa ini tak mampu, lebih baik
hapus saja Bhineka Tunggal Ika. Tak pantas bangsa yang tercerai berai
menyandangnya sebagai semboyan. Digadang-gadangkan tapi tak berwujud apa yang
dilafalkan. Sekaligus menghapus sila ketiga dari Pancasila—jika diperlukan.
Ikan teri dapat menggulingkan kapal karena bersama, maka manusia pasti bisa
lebih dari itu jika bersama.
*Donny
Mitra Virgiawan-Mahasiswa Matematika ITS
Diterbitkan
dalam buletin Langkah Awal edisi 14, 5-18 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!