Apa yang ada di kepala kita kalau mendengar kata “kiri”? Selain petunjuk arah, kata itu akan dikaitkan dengan apa saja yang berbau komunisme atawa sosialisme. Dengan demikian, “kelompok kiri” adalah kelompok yang berazaskan kedua ideologi itu. Sedangkan “orang kiri” berarti seseorang yang tergabung dalam kelompok kiri atau siapa saja yang menganut paham tersebut secara pribadi.
Betulkah demikian? Ditinjau secara etimologis, penggunaan istilah “kiri” selama ini salah alamat. Seorang ahli bahasa, Kasijanto Sastrodinomo, dalam rubrik “Bahasa” di majalah Tempo (30 Mei-4 Juni 2011) menjelaskan asal-muasal kata kiri. Istilah “kiri”, katanya, bermula dari keadaan sidang parlemen pasca-Revolusi Prancis 1789. Saat itu terdapat tiga kekuatan politik yaitu kubu konservatif, radikal, dan moderat.
Kelompok pertama menghendaki agar Prancis tetap mempertahankan sistem monarki, sebaliknya kelompok kedua ngotot menuntut republik, dan kelompok ketiga di antara keduanya. Dalam sidang-sidang, kubu konservatif duduk bergerombol di kanan ruang sidang, sedangkan kubu radikal berkumpul di kiri, dan moderat di tengah. Saat itu kubu radikal bertindak sebagai oposisi. Dari sinilah lahir istilah kelompok/kubu kiri, kanan, dan tengah.
Sebelumnya, dalam sebuah buku politik, saya menemukan versi berbeda. Menurut penulis buku, istilah kiri berasal dari kondisi parlemen Eropa tahun 1800-an. Nah, seperti lazimnya sistem parlementer, terdapat dua kelompok: pendukung pemerintah dan oposisi. Dalam sidang parlemen, Perdana Menteri duduk diapit pemimpin oposisi di kiri, sedangkan di kanannya pemimpin kubu pendukung pemerintah.
Kalau diperhatikan, kedua versi memang berbeda. Tapi hakekatnya sama bahwa “kiri” ditujukan kepada kelompok yang berseberangan dengan pemerintah. Atau, dalam bahasa populer: kelompok oposan. Kiri berarti oposan. Entah bagaimana ceritanya sampai istilah itu menjadi “monopoli” kaum komunis/sosialis. Bisa jadi karena kelompok ini paling radikal dalam menentang pemerintah yang mapan.
Tapi penggunaan istilah tersebut menimbulkan kesulitan tersendiri. Kelompok “kanan” dilekatkan pada mereka yang punya orientasi agama dan/atau nasionalis. Partai Nazi-nya Hitler disebut kelompok kanan padahal saat itu ada juga partai Kristen. Hitler sendiri membenci agama. Belum lagi di dalam kubu itu sendiri. Dahulu, misalnya, kader Partai Komunis Indonesia menganggap Partai Sosialis Indonesia kelompok kanan, meskipun keduanya kiri. Penamaan istilah kiri/kanan memang tumpang tindih dalam banyak hal.
Kiri Indonesia
Kalau kita gunakan makna aslinya, siapa gerangan kelompok kiri di Indonesia saat ini? Dengan mudah orang menjawab: PDIP, Hanura, Gerindra. Ketiganya memilih beroposisi terhadap pemerintahan Bung Sus (SBY). Dari perspektif non-parlemen sebetulnya ada lagi kelompok yang lebih kiri.
Ingatan saya langsung tertuju pada Hizbut Tahrir. Kelompok transnasional ini mengusung konsep Khilafah Islam. Dalam bahasa sederhana, mereka hendak membuat sebuah negera berdasar kesamaan agama. Bekal kelompok ini adalah romantisme 13 abad berdirinya khilafah, di mana yang terakhir Kekhalifahan Turki Ustmani—dibubarkan Mustafa Kemal tahun 1923. Dengan demikian, kelompok ini menentang konsep negara kesatuan berbasis teritorial dan dasar negara Pancasila. Sistem yang ada di Indonesia dianggap bukan cerminan sebuah negara Islam.
Melihat orientasi agamanya, Hizbut Tahrir akan digolongkan sebagai kelompok kanan. Tapi sesungguhnya mereka adalah kiri karena menentang dasar negara sekaligus pemerintah itu sendiri. Namun mereka bukan sekedar sebuah partai agama semisal PKS dan PPP yang tidak memiliki agenda—paling tidak sampai hari ini—untuk mengganti Pancasila ataupun NKRI. Partai tersebut seperti lazimnya, ingin mengecap kekuasaan atau paling jauh menghendaki undang-undang yang akomodatif terhadap kepentingan umat Islam.
Tidak demikian dengan Hizbut Tahrir. Meski tidak (belum?) bertransformasi menjadi partai politik peserta pemilu, agenda Hizbut Tahrir sudah jelas. Apabila berkuasa—entah bagaimana caranya—maka langkah pertama adalah menerapkan hukum syariat; kemudian, menyatu dengan negara Islam lain. Seperti tertulis dalam salah satu buku propaganda mereka Daulah Islam (dapat diunduh di http://hizbut-tahrir.or.id/):
Kita juga harus menggabungkan seluruh negeri-negeri Islam menjadi satu negara yang memiliki tujuan dakwah… Kemudian negara menyatukan wilayah-wilayah lainnya atau menyatukan Daulah Islam dengan wilayah-wilayah baru sebagai bagian dari politik dalam negeri Daulah Islam. Setelah itu, negara mengatur pengembangan dakwah dan berbagai tuntutan untuk melanjutkan kehidupan yang islami di seluruh wilayah Islam, terutama wilayah-wilayah yang bertetangga dengannya.
Tentu tidak ada lagi nasionalisme menurut batas teritorial dalam pandangan mereka. Yang ada “nasionalisme agama”. Kalau Hizbut Tahrir sudah berhasil, kita mungkin tidak dapat menyaksikan pertandingan sepak bola Indonesia versus Turkmenistan atau melawan “musuh” abadi kita, Malaysia. Tidak bakal ada nyanyian Indonesia Raya yang membuat merinding itu. Bahasa persatuannya bahasa Arab, bukan bahasa Indonesia. Padahal Partai Komunis yang memiliki cita-cita hampir mirip pun tidak sampai sejauh itu—menyatukan negara-negara komunis. Uni Sovyet dan Cina, misalnya, tidak bersatu dalam sebuah negara; malah mereka berperang satu sama lain.
Meski begitu, Hizbut Tahrir dapat hidup bebas di negara ini. Alasannya jelas: demokrasi tidak melarang orang berserikat walupun berpeluang mematikan demokrasi itu sendiri. Dalam UUD 1945, kebebasan itu dijamin. Namun, bagaimana dengan eksistensi negara kita? Tidakkah berbahaya?
Saya pikir, kelompok-kelompok ekstrim seperti itu sulit diterima orang Indonesia. Mereka menyebut dakwah sebagai metode perjuangan; sambil menyisipi agenda politiknya, tentu. Sepanjang orang Indonesia suka, akan dianggap sebagai keberhasilan. Sayangnya, tabiat orang Indonesia tidak sesederhana itu. Bagi kebanyakan orang kita, taat beragama tidak ada korelasi dengan orientasi politik. Orang yang rajin ibadah tidak otomatis paling lantang menginginkan negara agama. Dengan kata lain, agama betul-betul pribadi sifatnya.
Walau demikian, bukan berarti tidak ada yang tertarik dengan jualan politik mereka. Beberapa orang mudah tergiur apabila disuguhi politik simbol, khususnya agama, dan ini terjadi di hampir semua agama. Di India ada partai yang hendak mengganti negara sekuler India menjadi negara Hindu. Amerika Serikat meski terkenal liberal ternyata masih ada yang menginginkan Kristen dijadikan dasar negara. Orang-orang seperti Breivik yang menembaki puluhan orang di Norwegia baru-baru ini, konon, dilatarbelakangi semangat serupa.
Tidak bisa dimungkiri, selama masih ada ketidakpuasan pada sistem yang ada, akan terus hadir kelompok seperti itu. Di Indonesia yang tiada henti menghasilkan koruptor, kata Hizbut Tahrir: Hal itu terjadi karena Islam tidak dijadikan dasar negara. “Islam adalah solusi,” slogan mereka, “Tegakkan Khilafah!”
Ajaran agama, terutama segi moralnya, sebagai solusi; itu pasti dan tidak ada yang meragukan. Tapi bukan untuk menjadi dasar negara sebagai alat paksa bagi pemeluknya. Itu namanya memindahkan pemerintahan surga ke muka bumi dengan cara-cara manusia, padahal hanya Tuhan yang berhak melakukannya. Begitulah Hizbut Tahrir (Indonesia), kelompok paling kiri di Indonesia.
*Samdysara Saragih – Mahasiswa T Fisika ITS
sungguh lucu tulisan ini...:D..yah cukup menghibur dikala proyek semakin menumpuk..:D
BalasHapus@Hujan
BalasHapusItu artinya apa yang "berat" bisa dijadikan bahan tertawaan.Hahahahaha