Selasa, 02 Agustus 2011

Buku 'Indonesia Menggugat'


Oleh: Bung Frans*
Desember 1930, Bung Karno dan ketiga temannya (Gatot Mangkoepradja, Soeriadinata, dan Maskoen) sebagai pimpinan PNI ditangkap dan diadili sampai akhirnya dijatuhi hukuman 4 tahun penjara atas tuduhan menghasut rakyat untuk merobohkan pemerintahan Hindia Belanda dengan kekerasan. Pada kesempatan itulah Bung Karno membeberkan keburukan-keburukan dari penjajahan di Indonesia pada khususnya sejak jaman kompeni sampai pada tahun 1930, tentunya dengan gambaran buruknya kapitalisme dan imperialisme di Indonesia. “Indonesia Menggugat” adalah buku yang diangkat dari pidato pembelaan Bung Karno di muka Landraad (Pengadilan Hindia Belanda) Bandung 1930.


Dalam pidato pembelaannya Bung Karno menyatakan bahwa Imperialisme adalah anak dari kapitalisme. Beliau berkata, "Kapitalisme itu bukan suatu, bukan manusia, bukan juga suatu bangsa—tetapi ialah suatu faham, suatu pengertian, suatu sistem." Sedangkan Imperialisme adalah suatu nafsu, suatu sistim menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri. Lebih lanjut ia membagi imperialisme menjadi dua: Imperialisme tua dan modern, di mana yang membedakan keduanya adalah kehadiran secara fisik. Namun baik kapitalisme maupun imperialisme digerakan oleh nafsu mencari rezeki, ibarat yang dikatakan Bung Karno, "Nafsu mencari rezekilah yang menyuruh Vasco da Gamma dan Bartholomeus Diaz untuk menantang ganasnya ombak Samudra Pasifik."
Sementara itu beliau berkata, “Imperilisme tua di Indonesia dimulai pada abad ke-17 dan 18, di mana pada saat itu terjadi persaingan hebat antara Belanda, Inggris, Spanyol, dan Portugis dalam menanam sistem monopoli mereka di Indonesia. Satu persatu kerajaan-kerajaan ditaklukan dengan politik Devide et Impera, perdagangannya dipadamkan ribuan orang kehilangan pencarian rezekinya.” Selanjutnya zaman cultuurstelsel di mana rakyat Indonesia digaji rendah dengan beban kerja yang sangat berat, pada masa ini terjadi pemerasan penduduk yang tiada batasnya selain tahan atau tidak badannya.
Imperialisme modern dimulai pada tahun 1870 dengan dalil-dalil kesopanan, keamanan, tambah penduduk, alat–alat lalu lintas, dsb. Belanda membangun bangunan-bangunan budaya di Indonesia sehingga nampak seperti tidak lagi membinasakan tapi justru memajukan budaya; budaya dan gaya hidup Eropa di Indonesia. Namun pada hakikatnya imperialisme tua dan modern adalah sama, pembangunan rel–rel kereta api, pelabuhan, dsb—tujuan utamanya bukanlah untuk rakyat namun untuk memudahkan kapital–kapital memeras Indonesia. Selanjutnya Bung Karno menyatakan ada 4 macam “shakti” imperialisme modern di Indonesia. Pertama, Indonesia tetap menjadi negeri pengambilan bekal hidup. Kedua, Indonesia menjadi negeri pengambilan bekal–bekal untuk pabrik–pabrik di Eropa. Ketiga, Indonesia menjadi negeri pasar penjualan barang–barang hasil dari macam–macam industri asing. Dan keempat Indonesia menjadi lapangan usaha bagi modal yang ratusan, ribuan hingga jutaan rupiah.
Sementara itu bagaimana nasib rakyat Indonesia? Bung Karno berkata, “Penduduk Bumiputera hanya menjadi suatu bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka  tidak ada hak–hak yang orang berikan kepada rakyatku yang boleh dijadikan sebagai pegangan, sebagai penguat, sebagai sterking untuk memberhentikan kerja imperialisme yang mengobrak–abrik kerezekian dan pergaulan hidup bangsa ini.” Baik imperialisme tua maupun modern sama sekali tidak membawa suatu hal yang baik untuk bangsa Indonesia.
Pendudukan suatu bangsa terhadap bangsa lain dengan alasan apapun, baik dengan alasan pendidikan, memajukan, atau membantu kemajuan suatu bangsa adalah suatu hal yang perlu dipertanyakan lagi, apakah hal itu bermanfaat untuk bangsa atau masyarakat asli daerah tersebut ataukah hanya untuk memperdaya?
Sebuah ironi jika kita melihat kenyataan pada akhir-akhir ini, ketika apa yang ditakutkan Bung Karno dahulu terjadi, di mana ketika kita secara budaya dan gaya hidup mulai atau bahkan sudah terjajah, bahwa kita sudah terperangkap dalam imperialsime modern, di mana di zaman yang berbeda kondisi rakyat kurang lebih sama.
“Tidak ada budak yang lebih tanpa harapan daripada mereka (budak) yang secara salah percaya bahwa mereka bebas―Johann Wolfgang Non Goethe—
*Alfred Yoku – Mahasiswa T Sipil ITS

1 komentar:

  1. Kota Bandung bumi Priangan
    Ayo keliling naiki delman
    Jika Sukarno berangan-angan
    Tiadalah itu tanpa pengorbanan

    BalasHapus

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!