Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 7 (30 Mei – 12 Juni 2011) dan catatan akun FB: Langkah Awal-ITS
Oleh: Bung Samdy*
Abdoel Rivai dilahirkan pada 1877 di Sumatera Barat, lulus sebagai dokter Bumiputra di Batavia pada 1894 (cikal bakal Stovia). Lima tahun ia bertugas di Deli sambil belajar bahasa asing. Ia menjadi penerjemah dan wartawan untuk menambah pendapatan agar bisa melanjutkan pelajaran ke Belanda dengan biaya sendiri.
Pada 1899 Rivai tiba di Belanda yang rencananya akan belajar di sekolah kedokteran Utrecht dengan pertolongan Prof Eykman, guru besar di sana dan bekas dosen di Sekolah Dokter Bumiputra. Sialnya, menurut keputusan pemerintah, Rivai tak memenuhi syarat masuk fakultas kedokteran di Belanda karena diplomanya tidak diakui. Selama berusaha masuk fakultas kedokteran, ia menerbitkan surat kabar sendiri, Pewarta Wolanda, dalam bahasa Melayu yang disebarkan di Hindia-Belanda (Indonesia) juga.
Dalam tulisan-tulisannya, di surat kabarnya atau di surat kabar lain, Rivai memprotes pertimbangan pemerintah yang menganggap diplomanya tak memenuhi syarat. Sejak 1902 ia bekerja di surat kabar Bintang Hindia bersama seorang Belanda bekas tentara, Clockener Brousson. Pada 1904, surat kabar ini memiliki 27.000 pelanggan, sebagian di Tanah Air.
Pada 1906, Rivai tinggal di Paris, belajar di Lembaga Pasteur sambil mengajar bahasa Melayu. Ia sudah hampir menyelesaikan disertasinya, tetapi keburu harus pulang. Untung di Universitas Gent, Belgia, ada ujian umum untuk gelar Doktor. Rivai mengikuti ujian itu dan memperoleh gelar “doktor” dari sana pada 23 Juli 1908. Dengan demikan ia pun menjadi orang asli Indonesia pertama yang menjadi doktor.
Menikahi Janda Belanda
Setelah lulus sebagai “dokter Djawa” pada 1894, konon Rivai langsung pergi ke studio foto untuk dibuatkan gambarnya pakai topi dan dasi. Ayahnya, Abdoel Karim, guru Sekolah Melayu di Palembayan, Bengkulu, sedih ketika menerima foto itu dan menganggap anaknya sudah murtad. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang membagi masyarakat ke dalam golongan Bumiputra (Indonesia asli atau Pribumi) dan Eropa.
Sejak 1884, seorang Bumiputra yang mau disamakan dengan golongan Eropa (gelijkgestelden) harus mampu menyesuaikan diri dengan peradaban Eropa (volkomen geschiktheid). Termasuk di dalamnya adalah kemampuan membaca dan menulis dalam bahasa Belanda yang baik, mengenal tata-krama masyarakat Belanda, atau beragama Kristen. Karena itu, Ayah Rivai yang melihat foto anaknya berpakaian ala Belanda menganggap anaknya sudah masuk golongan Eropa dan pindah agama.
Tak berapa lama, Rivai menikahi seorang janda Belanda di Weltevreden, Batavia (Jakarta). Berita ini langsung meningkatkan kesedihan keluarganya. Ketika tahun 1899 Rivai pergi ke Belanda untuk melanjutkan studi, keluarganya sudah mencoret nama Abdoel Rivai dari daftar anggota keluarga.
Tak mengherankan bahwa selama hidupnya, terutama ketika menjadi jurnalis dan anggota Volksraad (Dewan Hindia, semacam parlemen di masa penjajahan), Abdoel Rivai menjadi salah seorang pengecam paling pedas atas keadaan sosial yang bersifat penjajahan. Ia menyebutnya sebagai “tragedi kolonial” atau “lelucon kolonial”.
Rivai memberi contoh pengorbanannya yang haus akan ilmu. Seperti katanya sendiri, bagi keluarganya, masuk sekolah Belanda saja sudah selangkah menuju kafir. Penjajah memang sengaja menebarkan kondisi kejiwaan seperti itu terhadap penduduk Pribumi sehingga mereka akan takut sekolah karena menganggap mereka menjadi sama dengan Eropa. Tapi Rivai percaya, agama adalah urusan pribadi dan bukan simbolik. Jas, topi, dan dasi bukanlah simbol agama tapi—waktu itu—simbol orang terdidik.
Sungguh, pengorbanan menjadi doktor Indonesia pertama yang menginspirasi generasi penerus.
[sumber:Menjadi Indonesia (Simbolon, 2006), mengutip Harahap (1939) dan Poeze (1986)]
*Samdysara S-Teknik Fisika ITS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!