Oleh: Jeng Arinda*
Masih mengenai kuliner, kali ini saya bicara tentang dua kantin “ternama” di kampus saya. Kantin pertama namanya SCC (mirip merk bimbingan belajar-SSC). Terletak hanya beberapa meter dari masjid Menara Ilmu (Manarul Ilmi). Tempatnya bersih, terkesan mewah layaknya kafe. Atau jangan-jangan memang kafe? Karena sistem pembayarannya seperti kafe, ada kasir khusus untuk menampung uang pengunjung kafe kantin.
Dibandingkan dengan kantin sederhana di Biologi, kantin SCC ini relatif sepi. Kalaupun ada mungkin cuma beberapa mahasiswa “berkantung tebel” sebagai pengunjungnya. Yang lain, saya perhatikan dari luar mereka cuma numpang duduk sekedar ngadem sambil wifi-an. Wajar saja sepi, untuk mendapatkan satu botol ukuran sedang air mineral dingin saya harus membayar Rp3.000,-.
Di kampus saya, penampilan bukan segalanya, pertimbangan utama mahasiswa sekelas saya (kelas kantung tipis) makanan yang layak konsumsi punya tiga parameter; pertama halal, kedua bersih, ketiga murah. Harga makanan yang bisa ditolerir kantung paling mahal adalah 5.000 perak (termasuk minum), bahkan kalau beruntung di daerah surabaya timur ini kita bisa kenyang dengan uang 3.000 perak.
Kedua, kantin BNI. Sebenarnya namanya bukan kantin BNI, melainkan kantin pusat. Tetapi karena letaknya bertetangga dengan bank BNI teman-teman lebih suka bilang “kantin BNI”. Asumsi point kebersihan terpenuhi, tapi asumsi harga terjangkau tidak terpenuhi. Lantaran harga makanannya kurang mahasiswawi. Harga makanan paling mahasiswawi yaitu menu soto ayam, satu mangkuk ditaksir Rp6.000,- . Menu soto ini satu-satunya makanan dengan kualitas seimbang antara harga, porsi, dan rasa. Bandingkan dengan menu nasi+sayur+telur dadar seharga Rp7.000,- Padahal kalau di Gebang atau Keputih menu sekelas itu tadi bisa kami dapatkan dengan harga Rp4.000,- saja. Selisih seribu rupiah sudah merupakan jumlah berharga bagi perantau seperti kami. 1.000 rupiah kalikan 30 hari, jumlahnya ada 30.000 bisa buat nge-print, fotocopy, beli buku, beli sabun cuci, beli odol, dll. Benarlah kata pepatah, uang bukan segalanya tapi rakyat butuh uang.
Urusan minum, biasanya saya dan teman-teman urunan seribuan buat beli satu mangkuk es campur. Satu anak bayar seribu, dikali lima totalnya lima ribu. Dapat satu mangkuk es campur dimakan berlima. Jika beruntung, kami bisa makan “gratis” kalau teman-teman saya asli surabaya bawa bekal makan dari rumah. Sebut saja Erna, dia selalu bawa bekal dengan porsi nasi kuli menggunung dan lauk berlimpah. Waktu saya tanya, kenapa bawanya banyak sekali? Erna bilang, aku ngomong ke Umi mau dimakan sama teman-teman jadi dibawain banyak deh. Ayo mangan bareng, rek! Akhirnya satu makanan untuk lima mahasiswa kelaparan atau bahkan lebih. Dan satu mangkuk es campur untuk orang satu meja. Nggak ada kata gengsi dalam kamus kami, benar-benar rasa kekeluargaan terasa di kampus ini. Pada akhirnya kantin sebagus ini kami jadikan basecamp berkumpul untuk menyelesaikan tugas yang menggunung. Salah sendiri bikin kantin dengan pajak mahal.
Urusan minum, biasanya saya dan teman-teman urunan seribuan buat beli satu mangkuk es campur. Satu anak bayar seribu, dikali lima totalnya lima ribu. Dapat satu mangkuk es campur dimakan berlima. Jika beruntung, kami bisa makan “gratis” kalau teman-teman saya asli surabaya bawa bekal makan dari rumah. Sebut saja Erna, dia selalu bawa bekal dengan porsi nasi kuli menggunung dan lauk berlimpah. Waktu saya tanya, kenapa bawanya banyak sekali? Erna bilang, aku ngomong ke Umi mau dimakan sama teman-teman jadi dibawain banyak deh. Ayo mangan bareng, rek! Akhirnya satu makanan untuk lima mahasiswa kelaparan atau bahkan lebih. Dan satu mangkuk es campur untuk orang satu meja. Nggak ada kata gengsi dalam kamus kami, benar-benar rasa kekeluargaan terasa di kampus ini. Pada akhirnya kantin sebagus ini kami jadikan basecamp berkumpul untuk menyelesaikan tugas yang menggunung. Salah sendiri bikin kantin dengan pajak mahal.
“Ketika orang-orang senasib berkumpul di kampus perjuangan. Jadilah kami mahasiswa senasib seperjuangan.”
Sebenarnya ada juga kantin sederhana di dalam kampus. Salah satu contoh yang saya ketahui letaknya di area jurusan biologi, tepat di tepi sungai brantas yang membelah wilayah jurusan statistika dan biologi. Harga menunya lebih mahasiswawi, tapi sayangnya jumlah kursi terbatas. Selain itu kalau dikantin sederhana, banyak mahasiswa merokok di kantin. Kantin ini selalu ramai, bukan hanya ramai pengunjung tapi juga ramai dengan kucing-kucing berkeliaran mencari sesuap ikan.
Semua orang menginginkan harga murah, bersih, dan halal. Tentu saja, saya pikir hal ini manusiawi. Saya tidak mencantumkan kata ENAK karena enak dilidah itu relatif. Mungkin juga pikiran saya ini terlalu ndeso. Tidak mengerti esensi pembangunan kantin mewah dengan harga diatas rata-rata isi kantung penghuni kampus. (kalau ada yang tau esensinya, dengan segala kerendahan hati tolong beritahu saya yang katrok ini)
Pak, Sebenarnya kami tidak butuh penampilan. Asalkan halal, bersih, dan murah sudah cukup kok. Cukuplah perwajahan kantin itu sederhana saja. Maka, kalau bangun kantin nggak usah mewah-mewah. Karena kalau Kantin mewah pajak sewanya mahal, otomatis makanannya juga mahal. Dulu di Gedung Grha Bapak bilang ini kampus perjuangan, kami butuh makan untuk hidup dan hidup untuk berjuang.
Akhirul kalam, mohon maaf jika ada statement yang kurang berkenan. Wassalamualaikum Wr.Wb.
“Meski bukan prioritas, urusan perut juga penting.”(kata saya) ~AN~
*Anla Arinda-Mahasiswi ITS 2010 (beralamat di anla arinda)
(Tulisan ini sebelumnya sudah di-posting oleh penulis di blop pribadinya)
Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 3 (4 – 17 April 2011)
Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 3 (4 – 17 April 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!