Jumat, 18 Maret 2011

Rektor ITS yang Didamba


Oleh: Bung Samdy*
Jika kita mencari kriteria pemimpin ideal, mungkin perkataan Plato-lah yang paling sering dirujuk.
Plato, filsuf Yunani yang hidup 2400 tahun lalu mengatakan pemimpin sebaiknya memiliki sifat ga-bungan raja dan filsuf. Raja mempunyai karisma, sedangkan filsuf memiliki kebijaksanaan.
Tapi, apabila kita membaca lebih jauh, konsep kepe-mimpinan ala Plato itu tidaklah sesuai dengan zaman demokrasi saat ini. Sebab, dalam buku Republic-nya, Plato tidaklah mengharapkan pemimpin lahir dengan cara dipilih, melainkan diwarisi turun-temurun se-bagaimana sistem monarki atau kerajaan.
Meski begitu, kita berharap pemimpin sebaiknya memiliki sifat tersebut. Di sini, di ITS, kita memiliki rektor baru!
Tentu saja, kita bukan memilih pemimpin negara. Melainkan hanya memilih seseorang yang berdasarkan Permendiknas No 24 Tahun 2010 disebut: “Dosen Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas tambahan sebagai pemimpin perguruan tinggi”.
Benar, pengertian seorang rektor tidak lebih dari itu. Namun, belum dilantik saja kita sudah menangkap aroma tidak sedap dari proses pemilihan rektor.
Surat kabar lokal beberapa hari yang lalu memuat indikasi polarisasi antar pendukung calon rektor. Be-berapa anggota senat yang calonnya kalah dalam pemilihan tahap akhir memperebutkan suara Men-diknas, merasa tidak puas. Mereka menganggap Mendiknas yang diwakili Dirjen Dikti membuat kri-teria pembagian suara yang tidak jelas.
Bahkan jauh sebelumnya, ketidakpuasan telah muncul karena Mendiknas dianggap mengintervensi pemilihan rektor ITS dengan menerbitkan Permendiknas yang mengubah tata cara pemilihan rektor.
Mengapa sampai timbul riak-riak seperti itu? Apakah telah terjadi pergeseran peran rektor seperti tertuang dalam Permendiknas?
Rektor dan Amanahnya
Sebuah jabatan mulia seperti rektor perguruan tinggi sejatinya tidak perlu diperebutkan dengan meng-halalkan segala cara. Dengan tabiat para dosen yang sebagian adalah guru besar tersebut, kita diperlihatkan  seolah-olah rektor dijadikan alat belaka. Apakah itu dalam rangka wewenang bagi-bagi jabatan ataupun sebagai batu loncatan untuk jabatan yang lebih tinggi.
Saya tidak tahu apakah benar dugaan tersebut. Andaikata tidak benar, kita boleh berprasangka baik bahwa memang telah terjadi ketidakjujuran atau ke-tidakadilan dalam proses pemilihannya. Dan tanggung jawab para dosen sebagai kaum intelektual untuk mengatakan benar jika benar dan salah apabila memang salah.
Namun, andaikan jabatan rektor hanyalah dijadikan batu loncat yang bermuatan politis, sungguh telah terjadi pelanggaran nilai-nilai keprofesioanalan di sana. Mahasiswa jelas memilih rektor dengan harapan agar terjadi perbaikan di kampus tercinta ini. Mahasiswa tidak memilih rektor untuk kelak menjadi dirjen atau bahkan menteri meski dengan prestasi yang membanggakan.
Sebab, jika orientasi rektor hanyalah untuk naik jabatan, perguruan tinggi tidak bisa memainkan pe-rannya sebagai kritikus kebijakan pemerintah. Meski rektor notabene PNS yang  makan dari gaji peme-rintah, tanggung jawab moral rektor―dan semua dosen serta mahasiswa―adalah mengabdi pada rakyat, bukan pada pemerintah.
Bisa kita bayangkan nanti rektor hanya bersikap patuh pada pemerintah dan mengekor saja kebi-jakannnya. Bisa-bisa mahasiswa dan dosen yang hendak mengkritik pemerintah akan dihambat se-demikian rupa sesuai wewenang sang rektor. Sebab, pemerintah tentu tidak menginginkan perguruan tinggi gaduh oleh segelintir orang yang dianggap membahayakan kekuasaan mereka.
Meski begitu,  harapan tetaplah disematkan pada rektor terpilih. Dialah yang akan membawa ITS ke arah cita-cita perjuangan para pahlawan 10 Nopember. Sebuah momen bersejarah yang diperjuangkan oleh kaum jelata seperti sering kita dengar dalam orasi Bung Tomo yang terkenal itu.
Tentu saja, cita-citanya bukan menjadi kampus yang komersial―kampus yang hanya bisa dinikmati oleh anak orang kaya raya sedangkan kaum proletar, marhaen, dhuafa hanya bisa melongo.
ITS ke depan
Dalam Renstra ITS tahun 2008-2017, kampus tercinta ini diharapkan mendapat international recognition, memenuhi national contribution, serta mengalami transformation. Tapi, apakah sasaran Renstra itu sudah tepat dengan nilai-nilai perjuangan kampus ini?
Menjadi kampus yang diakui oleh internasional mungkin cita-cita setiap perguruan tinggi (PT) di manapun. PT berlomba-lomba menggalakkan riset agar masuk jajaran universitas papan atas dunia.
Tak jarang, upaya ke arah sana sering disalahgunakan. Umpamanya dalam pencarian dana. Kita bisa amati perilaku universitas BHMN. Mereka memang bisa menancapkan “kuku” dalam urutan ra-tusan universitas dunia. Tapi, dalam waktu yang sama kita miris mendengar besaran uang pangkal dan biaya uang semester yang mencapai ratusan juta rupiah yang dibebankan pada mahasiswa.
ITS tidak usah mengikuti jejak mereka! Yang harus ITS lakukan adalah kontribusi nasional yang tanpa henti. Dari sini nanti, akan lahir lulusan yang siap mendarmabaktikan keilmuannya hanya untuk tanah airnya.
Dalam rencana transformasi, tampaknya menjadi perguruan tinggi BHP tinggal impian kosong belaka. Mahkamah Konstitusi sudah mambatalkan UU BHP yang memang tidak sesuai dengan UUD 1945.
Mungkin, mencari pemimpin ideal memang sulit. Tidak hanya pemimpin, bahkan manusia yang ideal. Nietzsche pernah gila dengan angan-angan Ubermensch-nya alias Manusia super yang digadang-gadang mampu mengganti manusia zamannya.
Tapi kita tidak usah gila  hanya karena memikirkan Rektor ITS yang “ideal”. Sebab, yang bersangkutan sudah memiliki landasannya. Apa itu? Tentu saja nilai-nilai perjuangan para pahlawan 10 Nopember. Hanya karena mereka kampus ini ada! Bukankah begitu pak rektor terpilih??
*Samdysara Saragih-Mahasiswa T. Fisika ITS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!