Rabu, 27 Juli 2011

“Yang Terhormat” dan Kemiskinan


Foto ilustrasi. Diambil dari habibibro.blogspot.com
Oleh: Ika Astutik*
Malam, di perempatan salah satu kawasan elite, Jalan Kertajaya Indah, Surabaya. Cuaca  yang cukup dingin untuk kulit. Kondisi itu tak menghalangi tubuh ringkih bocah seumuran 7 tahun untuk menjejak jalanan dalam kerumunan kendaraan. Lampu merah menghadirkan detik-detik harapan berkah buat bocah yang tubuhnya penuh gantungan kerupuk ”pasir”. Dengan gesit  menghampiri  kendaraan satu-satu. Mulut mungilnya mengeluarkan suara lirih yang beradu dengan kebisingan kendaraan angkuh untuk menawarkan kerupuknya.


Pemandangan ini memang menyedihkan, si bocah yang masih di usia sekolah dasar, juga seharusnya demikian. Malam ini bisa tidur nyenyak, setelah belajar atau mengerjakan PR dari ibu guru di sekolah. Dan esok pagi, berangkat lagi ke sekolah lagi.
Beginikah nasib generasi masa depan itu? Kemiskinan menyeret mereka ke dalam dunia “pekerja prematur”. Anak menjadi bodoh karena tak sekolah lantaran tak punya biaya sekolah, perkembangan otak mereka terganggu karena kekuranagan gizi, kondisi fisiknya sakit-sakitan karena kurang gizi, belum lagi tekanan mental karena persoalan keluarga yang stres, lingkungan kehidupan yang keras!!! Coba bayangkan jika 10 tahun kemudian, bagaimana nasib bocah-bocah ini tanpa pendidikan yang memadai dan lingkungan yang selayaknya. Betapa memprihatinkan generasi Indonesia.
Hal ini berbanding terbalik dengan para “Yang Terhormat“  yang duduk di “lembaga terhormat” yang semakin terseret trend demam korupsi untuk mempermewah diri. ”Yang terhormat” sibuk curhat kenaikan gaji dan tunjangan yang kian memanjakan, ditonton jutaan mata rakyat yang mengais sisa rejeki negeri, jutaan orang yang lapar dan mata kosong. Bahkan survei terbaru yang dirilis awal pekan ini oleh World Justice Project, dari 66 negara yang disurvei, Indonesia menempati posisi ke-47 untuk ketiadaan korupsi dan akses untuk keadilan sipil. Bahkan, untuk level kawasan Asia Timur dan Pasifik, rangking ketiadaan korupsi di Indonesia masuk di urutan kedua dari paling buncit sebelum Kamboja. Keadaan yang sangat ironis.
Pernah ada seseorang berandai-andai begini:
Seandainya ada seseorang  berdoa kepada TuhanNya, agar koruptor tingkat bawah, tengah hingga besar dimusnahkan dari muka bumi, lalu permohonannya terkabul, apa yang akan terjadi? Jangan-jangan dia juga ikut dimusnahkan. Karena dia sendiripun tidak sadar kalau juga terlibat praktik korupsi label legal yang sudah jadi hal ke(biasa)an.
Dengan kata lain, tindak korupsi sudah begitu meluas. Betapa di tingkat desa saja, pungutan resmi dan pungutan liar benar-benar menggurita, aparat yang mulai tingkat bawah saja sudah kehilangan rasa malu untuk meminta secara langsung dan tidak langsung maupun dengan cara lain, semisal mempersulit pelayanan banyak sekali  dijumpai. Ujung-ujungnya juga duit  yang  jadi  tujuannya. Bahkan transakasi korupsi terjadi secara terang-terangan di jalan raya dilakukan oleh para “penguasa jalan” dan para pengguna jalan yang sudah menganggapnya hal biasa.
Undang-undang lalu lintas yang mengatur tentang menyalakan Lampu disiang hari pada UU No.22 tahun 2009 pasal 293 (2) yang berisi:
Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah)”
Dalam kondisi seperti ini, tawaran membayar separuh dari seharusnya pun keluar dari mulut para “penguasa jalan” alih-alih sebagai uang damai tanpa sidang atau tanpa mengirim uang langsung ke rekening negara yang  besarnya 2 kali lipat dari yang ditawarkan. Siapa yang salah? Mengkhianati aturan mengkorupsi uang hak negara. Lagi-lagi siapa yang salah? Pelanggar yang mempermulus atau penguasa jalan?
Lalu bagaimana keadaan yang datang dari dalam gedung para “Yang terhormat”? Korupsi sudah jadi hal yang ngetrend bagi kaum “Yang Terhormat”. Bolehlah dikatakan sudah “Membudaya”. Penguasa bukannya mengamankan dan menyelamatkan aset negara untuk rakyat. Malah benar-benar intensif  mengamankan dan menyelamatkannya untuk diri sendiri, keluarga dan kelompoknya. Pemberantasan korupsi sudah bukan hal yang menakutkan atau memalukan bagi para “Yang Terhormat”. Lihat saja, para tersangka korupsi yang ditangkap KPK tampak tidak terlihat malu, bahkan masih sempat-sempatnya tersenyum dan melambaikan tangan. Bahkan yang lebih menggelikan, mereka mengerahkan massa untuk berunjuk rasa di depan KPK, bak patriot yang difitnah sana sini dan patut untuk dibela. Penegak hukum yang seharusnya turut memberantas korupsi yang sudah jadi penyakit ini, malah kian tergoda dengan rupiah dan dollar, hati nurani kian beku. Penegakkan hukum jadi mandul dan impoten. Pelaku yang sudah dijatuhi hukuman saja, tak perlu resah jika masuk hotel pordeo (penjara), hotel pordeo disulap jadi “sel mewah”, bahkan tak tanggung-tanggung liburan pun bisa terlaksana.
Sudah selayaknya “Yang terhormat” yang duduk di ”Lembaga Terhormat” menjaga amanah rakyat yang sudah legowo memberi mahkota kehormatan. Tentu mereka memiliki idealisme tinggi dan hati nurani yang mendengar  jeritan rakyat.
Semoga..... Bercermin dari situasi ini, mahasiswa yang merupakan harapan bangsa yang dengan pola pikir idealis diharapkan akan membawa perbaikan bangsa dengan pemikiran-pemikiran yang berlandaskan kemanusiaan dan keadilan. Dan bisa tahap setahap menggulingkan ranking Indonesia sebagai  negara korupsi ke tingkat dasar.
*Ika astutik - Teknik Informatika 2010

5 komentar:

  1. Korupsi yang berbau materi bermula dari korupsi yang non-materi sedari kecil.

    BalasHapus
  2. Contoh :

    TITIP ABSEN

    hahahah

    BACEM

    hahaha

    BalasHapus
  3. kempar melempar kertas.. haahha

    BalasHapus
  4. Naik angkot di surabaya
    Disalib becak saking lambannya
    Kalau tidak tanpa usaha
    Apalah arti tinggi nilainya?

    Hahahhaha......

    BalasHapus
  5. @ mas samdy :
    yang hanya akan menawarkan kemenangan semu..
    hihihi

    tapi kini di indonesia hal semacam itu udah lumrah dan budaya

    ya benigilah indonesia
    kita orang Indonesia bukan...

    hahaha

    BalasHapus

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!