Sabtu, 30 Juli 2011

La Bel Ing Ag Omo


Oleh: R Arif Firdaus Lazuardi
Di dunia tempatku bertinggal. 
Bagiku agama hanyalah sebuah identitas belaka. Atau bisa juga disebut, hanya sekedar alat yang digunakan manusia untuk memuaskan kepentingan. Baik kepentingan pribadi maupun golongan. 
Tidak ada yang bersih. Tidak ada yang suci. Dan tidak ada yang benar-benar murni dan tulus dalam beragama. Hanya beberapa orang saja, itupun adalah orang-orang pilihan. Selebihnya, tak jauh berbeda dengan si kera. Rakus. Tamak. Serakah.
Dan aku, tentunya bukan orang pilihan. Maka aku skeptis tentang agama. 

***** 
Tejo, begitu orang-orang menyebutku sejak kecil. Aku bukanlah seorang anak yang lahir dari kemunafikan, dan juga tidak berkembang di lingkungan bajingan. Sebaliknya, kakekku adalah seorang pemuka agama di desa setempat. Sedang kedua orang tuaku adalah orang terpandang di desa. 
Pastinya, dengan lingkungan keluarga yang seperti itu. Aku berkembang dalam lingkup yang agamis. Tak sehari pun yang kulewati, tanpa songkok, tanpa sarung, tanpa musholla, dan tanpa mengaji. Apalagi aku juga sempat menimba ilmu di pesantren, walau hanya beberapa tahun saja. 
Nah, disinilah awal mula cerita, kenapa aku tidak percaya dengan orang yang beragama. Di pesantren tempat aku belajar agama dengan intens. Aku kenal dengan seorang alim. Namanya Paijo, ia anak yang luar biasa. 
Bagaimana tidak, semua kata-katanya mengandung hikmah dan sering mengutip ayat alquran dan beberapa hadits. Perilakunya sangatlah mulia, terlebih lagi ia selalu shalat di pertengahan pagi dan selalu terbangun di kala orang lain tidur lelap. 
“Jo, nama belakangmu sama dengan Paijo. Tapi, gaya hidupmu jauh berbeda dengannya. Apa kamu tidak malu menyandang nama yang hampir sama. Tapi sifat jauh berbeda,” protes Budi, sahabat karibku.
“Gaya hidup yang bagaimana?” 
“Ah, kamu pura-pura tidak tahu, lihat Paijo. Setiap malam ia selalu bertahajjud. Dan keesokan paginya pasti bangun lebih awal. Dan di tengah aktivitas pagi pun, ia masih sempat berdhuha. Lha kamu? Bangun pagi selalu kesiangan, subuh kadang tertinggal, dalam kelas pun selalu tertidur!” 
Aku terdiam, tidak bisa beralasan lagi. 
Malam harinya aku terbangun. Dan segera ke midloah untuk berwudlu. Aku ingin meniru Paijo. Agar tak malu menyandang nama belakang yang sama.
Aku kaget bukan kepalang, saat ingin berwudlu, aku melihat Paijo di kamar santri baru. Bukan lagi bertahajjud, bukan juga membangunkan santri untuk bertahajjud. Tapi ia berbuat asusila terhadap salah seorang anak baru. Wajahnya dan gerak tubuhnya tak lebih baik dari anjing, bahkan lebih buruk dari babi.
Malam itu juga, aku pergi dari pesantren. Memiliki keyakinan yang baru. Tak perlu orang beragama. Manusia cukup berlaku dan berbuat baik untuk sesamanya dan alam. Maka ia lebih mulia dari segalanya. 
*****
Berdasarkan keyakinan itu, aku berjuang dari awal. Bekerja keras, berusaha keras, dan selalu berbuat baik ke semua orang. Tidak pandang bulu, entah ia berstatus sosial apa, beragama apa, berjabat apa, berkelamin apa. Selama itu baik baginya, maka kukerahkan seluruh kemampuan, tenaga, bahkan harta. 
Bagiku inilah hakikat hidup. Berbuat baik dan menciptakan ketenangan. Hingga tercipta keharmonisan antar penghuni dunia. Tidak ada saling menonjok, tidak ada saling menyudutkan, dan terlebih lagi tidak ada yang saling dendam dan perang. 
Keyakinanku semakin teguh. Saat melihat banyak orang yang memakai label agama untuk berjuang. Berteriak lantang ‘Allahu Akbar’ menghancurkan diskotek, pub, dan lokalisasi. Tapi tak pernah sedikitpun memikikan nasib orang yang terlibat di dalamnya.
Selang beberapa bulan, orang-orang yang menggunakan  label agama itu, tersiar di berita terlibat tawuran dengan kelompok lain. Hanya karena sebab yang tidak begitu jelas. “Ha….” Aku hanya bisa tertawa, perilaku sekelompok itu tak jauh beda dengan hewan di hutan. Yang kuat yang menang. Yang kuat yang berkuasa. 
Hal lain lagi. Banyak orang beragama, memegang alih jabatan. Dan bersumpah di bawah kitab sucinya untuk berperilaku jujur dan mensejahterakan rakyat. Tak berselang tahun, orang-orang yang sudah bersumpah agama itu. Terbukti korupsi dan memakan uang rakyat. “Ha…..” Sekali lagi aku tertawa. Tak jauh beda kan? dengan serigala yang mengaum keras. Agar hewan disekitarnya takut akan kekuasaannya. 
“Benar kan Budi, beragama tidaklah terlalu penting,” jawabku menang. 
“Tidak bisa seperti itu, lain konteks,” hanya begitu ucapnya. Sambil menutup lirih sambungan telepon. 
***** 
Sejak sepeninggalku dari pesantren. Setelah aku berusaha keras sekian tahun lamanya. Aku jadi orang sukses, kaya, banyak harta. Dan dari kekayaanku itu aku banyak membantu orang susah. 
Suatu hari aku berbuat baik terhadap pelacur di sudut kota. Tempatnya bekerja tergusur dengan teriakkan orang berlabel agama. Aku kirim uang bulanan untuk menghidupi kebutuhan sanak keluarganya. Di satu malam, pelacur itu berkata padaku. “Tuan, nikmati tubuhku ini. Biarkan aku membalas segala kebaikan tuan.” 
“Tidak bisa, ini perbuatan yang tidak baik. Aku hanya mau melakukan hal-hal yang baik saja,” tolakku. 
“Tapi tuan, ini bukan masalah baik atau tidak baik. Aku hanya tidak ingin terlihat sebagai orang peminta-minta. Ini hanya sebatas pekerjaan.” 
Kali ini aku tak kuasa menolak. Ia benar, ini hanya sebatas pekerjaan. 
Dan bulan pun mengeluh panjang. Diiringi oleh rayuan lembut angin malam. Udara di sekitar kami terengah-engah. Meraih kepuasan nurani berduri.
Ternyata pelacur itu mengidap aids. Maka aku pun terinfeksi juga. Delapan tahun sejak peristiwa itu. Aku tersungkur, seluruh harta benda habis untuk menyembuhkan penyakit ini. Orang-orang yang dulu dekat karena kebaikanku. Menjauh jijik, melihat badan yang semakin tahun kering kerontang. 
Malam ke-60 di bangsal para pengidap penyakit aids. Aku bermimpi, berada di suatu tempat yang tidak sama dengan duniaku berada. Aku melihat orang-orang yang kuceritakan di awal, yang berlabel agama itu, tersiksa dengan api. Berteriak di kobaran awan merah. Sedang orang-orang yang bersumpah agama tubuhnya dikoyak-koyak dengan palu besar berjeruji. Mereka berteriak kesakitan, keras. Dan yang terakhir. Kulihat seorang yang dari mulut hingga lubang anusnya tertusuk dan ia terpanggang bak sate. 
Sedang di sisi lain, kulihat sekelompok orang bercahaya menikmati temaram bulan dan hangat mentari. Mereka tersenyum lepas, benar-benar ikhlas. Tapi samar-samar wajah itu kabur, lantas menghilang. Dan begitu kubuka kembali mataku, wajah-wajah penuh cahaya itu tergantikan dengan teman sebangsal senasib sepenyakitan. Tersenyum juga, seraya berkata, “ah dia tak jadi mati.” 
*****
Suara adzan menggema dari masjid sebelah. Dan inilah kali pertama aku merasakan kenikmatan mendengar lantunan adzan. Suaranya yang merdu menyejukkan batin. 
Di saat inilah, aku kembali teringat masa kecilku, dimana orang tuaku dengan penuh kasih sayang memakaikanku pakaian dan songkok kecil. Lantas aku berlari lugu dan polos menuju musholah. Mengaji dengan riangnya bersama teman sebaya. 
Tanpa tersadar air mataku meleleh. Tangan gemetar. Hati berdegup keras. Dan mulutku terucap bata “laa…i..laa..ha..illa..llah.” 
***** 
Dan cerita ini hanya terjadi di duniaku, bukan duniamu.
Cerpen ini juga dimuat dalam Annida-online pada tanggal 28 Juli 2011. Alamat link annida-online: La Bel Ing Ag Omo

2 komentar:

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!