Minggu, 15 Mei 2011

Raden Mas Soewardi Suryaningrat

Seorang pria kelahiran 2 Mei 1899 silam yang telah menorehkan tinta emas bagi sejarah bangsa ini. Kota pendidikan—Yogyakarta—menjadi tempat pertamanya menatap dunia. Putra kebanggan K.P.A. Suryaningrat dan R.A. Sandiah. Dialah Raden Mas Soewardi Suryaningrat yang lebih kita kenal dengan Ki Hadjar Dewantara. Salah seorang yang sangat berjasa dalam membangun pendidikan di Indonesia. Pendidikan dasarnya diselesaikan di Europeesche Lagere School (ELS). Sempat melanjutkan ke STOVIA namun tidak sampai tamat.

Kemampuannya sebagai seorang  penulis dan wartawan tidak dapat dipandang sebelah mata. Beberapa surat kabar seperti Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Muda, Tjahaja Timoer, dan Poesara menjadi saksi bisu atas kepiawaiannya menulis. Tulisannya tajam dan dalam sehingga mampu membakar semangat anti-kolonial bagi pembacanya. Bapak pendidikan ini juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Soewardi merupakan salah seorang pemrakarsa Boedi Oetomo. Menjadi seksi propaganda di Boedi Oetomo membuatnya aktif dalam menyosialisasikan pentingnya persatuan dan kesatuan dalam hidup berbangsa dan bernegara ke masyarakat Indonesia. Soewardi juga mendirikan Indische Partij bersama Douwes Dekker dan dr.Tjipto Mangoenkoesoemo yang kita kenal sebagai tiga serangkai, dengan tujuan mencapai Indonesia merdeka.
Sahabat setianya, Ernest Douwes Dekker, menggambarkan Soewardi sebagai seorang dengan tubuh yang lemah tetapi memiliki daya kemauan yang keras yang selalu dimenangkannya setiap memperjuangkan sesuatu. Hal tersebut dapat dilihat bagaimana reaksinya saat Belanda akan mengadakan pesta kemerdekaan yang ke-100. Soewardi menulis sebuah artikel berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda).
”Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya”.
Sebuah perlawanan yang menjelma tulisan. Keberanian dalam menyatakan kebenaran. Itulah secuil artikel Soewardi yang diterbitkan De Expres pimpinan Douwes Dekker tahun 1913. Tulisannya memanaskan telinga Belanda. Tanpa melalui persidangan Soewardi dihukum langsung oleh Gubernur Jenderal Idenburg. Diasingkan ke Bangka dan kemudian diasingkan ke Belanda bersama Douwes Dekker dan dr.Tjipto Mangoenkoesoemo.
Soewardi memanfaatkan pengasingannya di Belanda dengan mendalami pendidikan dan pengajaran. Hingga Europeesche Akte dianugerahkan padanya. Tahun 1918 Soewardi kembali ke Indonesia dan 3 Juli 1922 mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa (Perguruan Nasional Taman Siswa). Dengan cita-cita luhur, ingin memajukan pendidikan bagi pribumi. Tidak sedikit rintangan yang dihadapi Taman Siswa. Pihak kolonial Belanda merintangi dengan mengeluarkan ordonansi sekolah liar pada 1 Oktober 1932. Namun dengan kegigihan dalam membela haknya, ordonansi tersebut dicabut.
Satu hal yang menarik adalah saat Soewardi mengganti namanya dengan KI Hadjar Dewantara. Seperti halnya Tagore yang mengembalikan gelar “Sir” ke Raja Inggris sebagai protes atas keganasan tentara Inggris dalam kasus Amritsar Affair. Soewardi juga melepas gelar “Raden Mas”, hal ini dilatarbelakangi kecintaanya kepada rakyat. Dia ingin lebih dekat secara lahir dan batin dengan rakyat. Soewardi benar-benar sosok yang sederhana. Bahkan di akhir hayatnya Soewardi berpesan agar tetap dianggap orang biasa. Tetapi karena darma baktinya kepada negara, Presiden Soekarno mengukuhkannya sebagai pahlawan nasional ke-2 dengan keluarnya Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 28 November 1959. Tanggal kelahirannya dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional yang kita peringati 2 Mei kemarin. Ki Hajar juga mengenalkan tiga prinsip pendidikan: Ing ngarsa sung tuladha (dari depan memberikan contoh), Ing madya mangun karsa (dari tengah membangun semangat), dan Tut wuri handayani (dari belakang memberikan dorongan)—semoga terpatri di hati kita masing-masing. Namun hanya Tut wuri handayani yang menjadi semboyan pendidikan bangsa kita sekarang.
Di saat usia tak lagi muda, jiwa dan semangatnya terus menerus diperbaharui serta diabdikan untuk generasi muda Indonesia. Jiwanya tetap muda. Berkobar penuh semangat dalam kesederhanaan, sebuah keteladanan yang sangat ingin diwariskan pada para pemuda Indonesia, dialah Ki Hajar Dewantara. (dmv)
Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 6 (16 – 29 Mei 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!