Rabu, 26 Oktober 2011

Mengkritik dan Dikritik


Mengkritik dan dikritik adalah bingkai kehidupan. Seolah menjadi bagian dari cara kita berkomunikasi dengan orang lain. Apa yang kira-kira akan terjadi jika komunikasi yang kita bangun dengan orang lain hanya bersifat formalitas belaka? Mungkin akan tercipta suatu peradaban dimana masyarakat di dalamnya acuh tak acuh satu dengan yang lain, atau bahkan hanya berbasa-basi terhadap permasalahan orang lain.
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, Langkah Awal hadir untuk mencoba bersumbangsih bagi kehidupan mahasiswa di kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Memberikan opini-opini yang berisikan kegelisahan sang penulis akan kondisi sosial yang tak kunjung membaik, serta tak kunjung henti menyampaikan kritik-kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat. Seperti dalam edisi 17 Langkah Awal kali inimencoba menelusuri jejak kejadian Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) dari sudut pandang seorang pria bernama Kholid dan Aminah sebagai saksi sejarah G30S/PKI.

Kesaksian Istri Penjagal (Orang) PKI


yasirmaster.blogspot.com
Lalu lalang kendaraan selalu menghiasi Jalan Arif Rahman Hakim, Keputih. Mobil, motor, sepeda, seolah saling berkejaran untuk sampai ke tujuan. Debu dan asap beterbangan ke sisi kiri-kanan tanpa pandang bulu siapa yang disasarnya. Dalam keadaan seperti inilah, seorang kakek, Kholid (bukan nama sebenarnya), menghabiskan hari-harinya. Ia duduk di dekat lapak dagangan yang berada persis di tepi jalan sehingga asap-debu juga menjadi santapannya, demi jaminan hidup di hari tua.  
Pandangan matanya seperti biasa tertuju pada jalan itu, termasuk pada Sabtu (1/10) lalu. Entah apa yang dipikirkan. Tapi pada tanggal 1 Oktober ini, mungkin ada sedikit terbersit dalam memorinya peristiwa yang persis terjadi 46 tahun lalu. Sebuah malapetaka yang begitu berpengaruh pada nasib bangsa ini. Di Jakarta, dini hari 1 Oktober 1965, enam jenderal diculik oleh kelompok Gerakan 30 September (G30S). Sejak saat itu dan beberapa tahun sesudahnya, Indonesia tiada henti dirundung duka. Daerah-daerah pun ikut terseret pusaran politik yang terjadi di Jakarta. Dan semua orang tua masa kini, tak bisa tidak, pasti punya ceritanya sendiri.

Seandainya PKI Berhasil (1)


Oleh: Bung Samdy*
Sudah 46 tahun berlalu, tapi peristiwa itu masih sulit dilupakan. Kita sebagai generasi muda pun pasti masih ingat masa-masa pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI yang menambah rasa benci pada Partai Komunis Indonesia.
Di sekolah dasar maupun menengah, buku sejarah menggambarkan sadis dan kejamnya PKI. Partai ini begitu buruk rupa karena tega membunuh enam jenderal dalam satu malam untuk merebut kekuasaan dan mendirikan negara komunis Indonesia. Seandainya terwujud, Indonesia tidak lagi ber-Tuhan. Kegagalan PKI membuktikan bahwa Tuhan masih mendengar doa orang Indonesia dan tentu saja: saktinya Pancasila.

Perlawanan Tidak Pernah Padam


sosbud.kompasiana.com
Oleh: Bung Rafli*
Kehidupan tidak pernah terlepas dari sejarah penindasan; baik berupa pembodohan, pengisapan, pemerasan, maupun penjajahan. Selama itu pula, perlawanan terus bersemayam di pojok ruang dan waktu; kecil, sempit, terbatasi gerak, bahkan nyaris tak terlihat.  Sejarah penindasan selalu berbanding lurus dengan perlawanan.
Seseorang yang berani melawan dan dapat mengapresiasikannya secara nyata dalam bentuk perlawanan. Berarti memiliki harga diri dan harapan serta cita-cita hidup yang menurutnya layak untuk diperjuangkan dan diraih. Sebaik-baiknya, sekuat-kuatnya. Sekecil apapun perlawanan yang dilakukan, jelas memiliki arti yang dalam. Minimal, bisa memberikan gairah semangat dan membangkitkan perlawanan-perlawanan lain yang serupa.

Kebenaran-Jalanan Bagian III; Mengeja(r) Tangis-Tawa Bocah Di Yogya


kfk.kompas.com
Oleh: Bung Yaumil*
Fajar masih enggan meninggalkan pagi, disudut kiblat timur, Surabaya, masih ditemani dingin. Gedung-gedung tetap terpaku diam sejak 51 tahun yang lalu. Waktu menunjukkan pukul 05.00, setelah bersiap dan shalat, pandangan mengalih ke seorang bocah yang akan berangkat ke sekolah. Pagi sekali! bisik batinku.
Teringat sebuah fenomena yang mengerikan tadi malam saat mencoba mencari kabar asia tengah di e-akhbar.co.id. Sebuah iklan mobil, Subaru, mempromosikan aksi tabrak lari terhadap dua bocah. Iklan komersial tersebut menampilkan adegan foto ketika direktur yayasan Al ‘Ad, David Bari, menabrak dengan mobilnya dua bocah berumur 10 tahun, Imran Manshur dan Iyyad Ghaits di kawasan pemukiman Silwan, Yerusalem Timur. Luka dan patah kaki dialami kedua bocah tersebut. Na’as.
“Mari! Mulai Perjalanan.”

Asmaradana


liaymutia.blogspot.com
Oleh: Bung Donny*
“Daun dan pohon. Sang daun menjadi citra keindahan dan kerindangan bagi sang pohon. Nafas kehidupan sang pohon juga tak lepas dari sang daun. Nutrisi kehidupan juga sang daun penuhi demi sang pohon. Begitu murni dan tulus. Sampai kemarau datang. Gugurkan dirimu! pinta sang pohon. Setelah banyak hal telah dilakukan sang daun, tak sedikit pun ada ungkapan terima kasih, malah sang pohon menghendaki sang daun pergi dan mati. Tak ada cela, tak ada cercaan hina. Sang daun menggugurkan dirinya. Setelah berkawan tanah pun, sang daun tak diam meratapi nasib. Tahu kau apa yang dilakukan sang daun? Sang daun menghancurkan dirinya, berkalang tanah, demi kesuburan sang pohon.”

Syarif Abdul Hamid Alkadrie: Perancang Lambang Negara


wikipedia.org
Oleh: Bung Ucup*
Garuda pancasila/Akulah pendukungmu/Patriot proklamasi/Sedia berkorban untukmu/Pancasila dasar Negara…
Sepintas ketika kita membaca beberapa kata di atas, kita merasa menyanyikan sebuah lagu yang tidak asing di kehidupan kita. Benar sekali, karena kata-kata itu merupakan penggalan kata lima baris pertama dari lagu wajib nasional Garuda Pancasila atau ada yang menyebut lagu Mars Pancasila. Saat melantunkan kata pertama, Garuda Pancasila, angan kita secara tidak langsung membayangkan sebuah burung garuda yang berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila) dan kakinya mencengkeram pita bertuliskan “Bhineka Tunggal Ika”—simbol sakral yang menjadi lambang negara kita. Kita semua pasti tahu apa saja yang ada dalam pancasila, bagaimana menggambarkan lambang negara kita. Garuda Pancasila. Akan tetapi, apa kita tahu siapa sebenarnya perancang lambang negara kita—Garuda Pancasila?

Sejarah Perkapalan di Indonesia


nationalgeographic.co.id
Oleh: Bung Ucup*
Diskusi Rutin yang diadakan setiap hari Jum’at di pelataran kantin selalu menghadirkan suasana berbeda setiap minggunya, baik dari peserta diskusi yang selalu hadir wajah baru maupun dari tema diskusi yang selalu menarik untuk didiskusikan. Pada kesempatan diskusi Minggu lalu (14/10), bung Mahfud sebagai pengantar materi menghadirkan sekilas tentang sejarah perkapalan lebih khususnya di Indonesia. Seperti biasanya, setelah moderator membuka jalannya diskusi, bung Mahfud segera mengantarkan beberapa wacana yang berkaitan dengan sejarah perkapalan.

Rabu, 12 Oktober 2011

Terus Berjuang



Ada sebuah kata bijak, “ombak yang besar melahirkan pelaut yang handal.” Dalam arti, hanya dengan melalui permasalahan yang besar lah, seorang manusia memiliki kepribadian yang kuat. Tegar dalam mengarungi bahtera kehidupan. Dan tidak terhanyutkan ombak permasalahan.
Bagi tim Langkah Awal, segala kendala dan permasalahan yang ada selalu menjadi energi positif yang justru membuat Langkah Awal tetap ‘eksis’. Bukankah rasa sakit merupakan bukti bahwa sesuatu itu hidup? Berbagai kendala yang menghampiri kami tidak serta merta membuat Langkah Awal berhenti, mati, dan hanyut oleh ombak masalah. Justru dalam kondisi yang demikianlah, tim redaksi Langkah Awal tetap menyuguhkan beragam pemikiran dari teman-teman mahasiswa kepada pembaca.
Ucapan terima kasih kami haturkan kepada Bung Faris, mahasiswa Biologi 2008 yang mengirimkan gagasannya berjudul Kura-Kura, Kupu-Kupu, Kunang-Kunang, dan Kuda-Kuda; Adalah Bagian dari Civil Society. Juga kepada Bung Syukron yang mengirimkan kegelisahannya berupa Ribetnya Sistim Pengajuan PKM di ITS.
Dalam rubrik sastra, puisi yang berjudul Anyok, Anyu, Ganyel karya Ma’un Awang-Awang mewakili protes menggelitik untuk pemuda yang menyandang status mahasiswa. Sedang Bung Rengga dengan karyanya Aku, Pejuang Keadilan justru menimbulkan rasa yang kontradiktif, antara optimisme dan pesimisme. Semua tentu kembali ke individu mahasiswa. Yang harus siap menghadapi segala permasalahan. Salam Kebebasan Berpikir.


Sabtu, 08 Oktober 2011

Semakin Tinggi Penghargaan Manusia Terhadap Kekayaan, Semakin Rendahlah Penghargaan Manusia Terhadap Kebenaran, Keadilan, Kesusilaan, dan Nilai-Nilai Kemanusiaan


nurmeily.blogspot.com

Oleh: Bung Rafli*
Hakikat Pendidikan
Kira-kira apa yang akan terjadi dengan negeri kita dan bagaimana nasib anak bangsa saat ini? Jikalau saja 79 tahun yang lalu (1922), Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan yang diasingkan ke Belanda, tidak jadi mendirikan Taman Siswa.
Dan kita bayangkan saja, seperti apa kira-kira nasib kaum hawa di negeri kita, kalau saja seandainya dahulu Kartini tidak memberontak dari kungkungan keluarganya untuk meraih pendidikan (mendirikan taman baca).
Dan bagaimana nasib kita saat ini jika seandainya lagi 66 tahun yang lalu (1945) bangsa kita tidak merdeka? Mungkin saja, kalau kondisi yang saya paparkan di atas benar-benar terjadi. Kita semua, saya dan anda, tidak akan pernah menjadi mahasiswa dan mengenyam pendidikan di kampus yang konon—bergengsi—di Indonesia (ITS).

Kura-Kura, Kupu-Kupu, Kunang-Kunang dan Kuda-Kuda; Adalah Bagian dari Civil Society


sidik-online.webnode.com

Oleh: Bung Faris*
Euforia menjadi mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) perlahan namun pasti akan memberikan dampak terhadap perkembangan mental mahasiswa baru—mencari jati diri dengan bergabung dalam fraternity. Apapun jenis organisasi mahasisawa yang diikuti akan membentuk karakter tiap mahasiswa yang tergabung. Mahasiswa adalah masa transisi yang labil, sehingga character bulding yang akan mereka dapatkan adalah melalui organisasi yang ditekuninya.
Mungkin pernah dengar istilah Mahasiswa Kura-Kura, Kupu-Kupu, Kunang-Kunang dan juga mahasiswa Kuda-Kuda. Tidak ada larangan dan paksaan untuk menjadi atau memilih salah satu karakter mahasiswa tersebut. Tulisan ini juga tidak bermaksud untuk melakukan intimidasi terhadap salah satu karakter karena semuanya terserah pada anda. It`s your choice!

Ribetnya Sistim Pengajuan PKM di ITS


pkmits.blogspot.com

Oleh: Bung Syukron*
“PKM adalah bentuk kontribusi nyata seorang Mahasiswa.”  Slogan-slogan seperti itu bukanlah hal yang biasa ketika anda memasuki kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Hampir semua titik rawan di kampus ini terpampang slogan-slogan yang kurang lebih sama dengan slogan tersebut.
Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) merupakan salah satu bentuk upaya yang dilakukan Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M), Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) dalam meningkatkan kualitas peserta didik (mahasiswa) di Perguruan Tinggi (PT) agar kelak dapat menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademis atau professional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi juga kesenian serta memperkaya budaya nasional. PKM dilaksanakan pertama kali pada tahun 2001, yaitu setelah dilaksanakannya program restrukturisasi di lingkungan Dirjen Dikti. Kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang selama ini sarat dengan partisipasi aktif mahasiswa, diintegrasikan ke dalam satu wahana yang diberi nama Program Kreativitas Mahasiswa. Tahun ini, ada enam jenis kegiatan-kegiatan yang ditawarkan dalam PKM yakni PKM-Penelitian (PKM-P), PKM-Penerapan Teknologi (PKM-T), PKM-Kewirausahaan (PKM-K), PKM-Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM-M), PKM-Penulisan Ilmiah (PKM-AI) dan PKM-Gagasan Tulisan (PKM-GT). (Sumber: Pedoman PKM 2011)

Yap Thiam Hien; Pembela “Haji dari Beijing”


Oleh: Bung Samdy*
Setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965 gagal, Soeharto berhasil membubarkan “musuh besarnya”, Partai Komunis Indonesia, pada 12 Maret 1966. Para menteri Kabinet Dwikora yang dituduh terlibat G30S pun ditangkapi. Salah seorang di antaranya adalah Subandrio, wakil perdana menteri yang merangkap menteri luar negeri dan kepala badan intelijen.
Subandrio pun diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada Oktober 1966. Sebagai kuasa hukum, ditunjuklah salah seorang pengacara yang cukup terkenal saat itu. Namanya Yap Thiam Hien.
Yap lahir di kota paling ujung Pulau Sumatra, Kutaraja (Banda Aceh), pada 25 Mei 1913. Sempat menempuh pendidikan dasar ELS di kota kelahirannya, Yap melanjutkan studi di MULO Batavia (Jakarta), AMS Yogyakarta, dan HCKS Jakarta. Tertarik pada hukum, ia lalu memilih Sekolah Tinggi Hukum Jakarta. Yap melanglang buana ke luar negeri, tepatnya negeri Belanda, guna meneruskan pendidikan di Universitas Leiden. Di kampus almamater tokoh pergerakan seperti Ali Sastroamidjodjo, Maria Ulfah, dan Sartono, itu, ia memperoleh gelar Sarjana Hukum (Meester in de Rechten) tahun 1947.

Anyok, Anyu, Ganyel


Oleh: Ma’un Awang-Awang*

Hardik anak sumbing
Di pelipis para mahasiswa
Anyok, anyu, ganyel
Tatap mata sayu
Wajah kumal, ingus belepotan
Berkaos tanpa lengan
          Ia berkata kepadaku
“Negeyi kitnya unyah mernyeka, tanyi anya aknyu nyang mernyeka, negeyi kita unyah makmyul, tapi uma aknyu nyang makmyul.”
          Lalu aku jawab
          “Hei sialan kau, aku ini mahasiswa….aku lebih tahu keadaan negeri ini”
          Ia lantas membalas
          “Mahnyanyiswa…… anyok, anyu, ganyel”
          “Hei sundal kon misuhi aku yo?”
(tiba-tiba anak sumbing itu berubah menjadi asap dan merasuk dalam kepalaku….lantas menuntunku berpuisi)
Hei mahasiswa
Kau bilang intelektual
Bullshit…kata-katamu  itu comberan di antara kotoran babi
Kau bilang agen perubahan
Munafik…kata-kata anjing
Kau bilang generasi terbaik bangsa
Biadab…aku muak slogan itu
          Inikah intelektual, inikah agen perubahan, inikah generasi terbaik bangsa
Kuliah kau kejar indeks prestasi
Lulus jadi kacung kapitalis asing
Kau tahu mereka yang menganggur
Apa gunanya belajar tinggi tapi negeri ini tanpa solusi
Apa kau lupa subsidi SPPmu dari mana?
Subsidi SSPmu hanya pinjaman tanpa batas waktu
Dari orang-orang melarat
Yang mereka tak tahu
Mereka tak mengerti
Kalau uangnya raib untuk manusia sepertimu!
Kau itu bukan intelektual, agen perubahan dan generasi terbaik bangsa….
Kau hanya, “Anyok, anyu, ganyel,”

*Munirul Ichsan-Mahasiswa T Mesin

Aku, Pejuang Keadilan


Oleh: Bung Rengga*

Aku
Tak percaya terdampar di ranah ini
Di ruangan penyejuk pikiran
Ruangan yang penuh dengan keharmonisan
Antara hati dan pikiran serta jiwa

Aku tak sadar,
Akankah tubuhku tetap seperti ini
Bermanjakan kenyamanan dan berawankan keteduhan
Bertaburan buih-buih kebahagiaan tak terbendung

Rasa cinta memang ada dan itu nyata
Keluh kesah tak pernah ku rasa sedikitpun
Secuil pun tak pernah
Sakit pun jarang terasa, hanya goresan tinta yang ada
Hanya sesekali merasakan luka terdahulu
Begitukah peralihan?
Antara perjuangan sesungguhnya dan kenyamanan sesaat

REOG PONOROGO: Sebuah Bentuk Penyimbolan Melahirkan Kesenian Besar


sichengger.wordpress.com

Pada kesempatan diskusi minggu lalu (23/09), bung Imot sebagai pengantar materi menghadirkan sekilas sejarah Reog Ponorogo. Seperti diskusi -diskusi sebelumnya, diskusi malam itu pun berjalan sangat asyik, bung Imot menjelaskan tentang sejarah Reog Ponorogo yang katanya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat, tapi malam itu hanya diceritakan dari tiga versi.
Pertama, Reog Ponorogo ada pertama kali pada masa kerajaan Majapahit dibawah kepemimpinan Bhre Kertabumi, raja terakhir kerajaan Majapahit yang berkuasa pada abad ke 15 M. bermula dari pemberontakan Ki Ageng Kutu – seorang abdi kerajaan waktu itu – terhadap raja Bhre Kertabumi yang mendapat pengaruh kuat dari rekannya yang berasal dari China dan sang raja yang korup. Sejak itu, Ki Ageng Kutu pergi meninggalkan kerajaan karena dia memperkirakan bahwa kekuasaan kerajaan majapahit akan segera berakhir. Kemudian mendirikan perguruan untuk anak-anak muda yang diharapkan menjadi bibit kebangkitan kerajaan Majapahit. Ki Ageng Kutu menyadari bahwa pasukannya terlalu sedikit untuk melakukan perlawanan, maka pesan politisnya ditunjukkan melalui pagelaran seni Reog.